Farmakogenetik dan farmakogenomik merupakan cabang ilmu farmakologi, yaitu ilmu yang mempelajari efek obat pada makhluk hidup baik manusia dan hewan maupun tumbuhan dan jasad renik. Karena luasnya pokok bahasan, farmakologi kemudian bercabang-cabang menjadi banyak cabang ilmu yang memfokus pada bahasan obat pada spek tertentu, misalnya farmakologi klinik yang mempelajari obat dengan fokus penggunaan obat pada manusia, farmakoterapi mempelajari obat dengan fokus terapi penyakit, farmakoepidemiologi mempelajari obat obat dengan fokus efek obat pada manusia dalam tataran populasi, farmakogenetik mempelajari obat dengan fokus pengaruh faktor genetik pada metabolisme dan efek obat, dan farmakogenomik mempelajari pemanfaatan ilmu dan teknologi genomik dalam penciptaan, penemuan dan pengembangan obat serta penggunaannya dalam diagnosis dan terapi penyakit.
Demikian disampaikan dosen Farmakologi FK UGM Prof dr Ngatidjan MSc SpFKK saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM, Rabu (20/8). Asisten Wakil Dekan II FK UGM ini mengucap pidato “Farmakogenetik dan Farmakogenomik: Paradigma Baru Dalam Terapi Obat”.
“Dalam arti sempit farmakogenetik dan farmakogenomik mempelajari adanya perbedaan dalam metabolisme dan efek obat diantara penderita,” ujarnya di Ruang balai Senat UGM.
Dikatakan, suatu obat dapat saja manjur dan aman untuk penyakit yang diderita seseorang, tetapi dapat juga tidak manjur untuk penderita lain, atau bahkan justru menimbulkan efek samping atau efek toksik pada penderita lainnya walaupun penyaki yang diderita ketiganya sama. Adanya perbedaan efek obat antar penderita itu bisa diakibatkan oleh variasi genetik penderita yang termanifestasi sebagai variasi dalam hal enzim pemetabolisme obat dan tempat obat beraksi, berupa reseptor, enzim atau transporter.
“Oleh karenanya untuk meningkatkan keberhasilan terapi obat sekaligus menghindari efek samping atau efek toksiknya, penciptaan-penemuan, pengembangan dan penggunaan obat harusnya didasarkan pada profil genetik penderita. Sayangnya, saat ini prosedur pemeriksaan profil genetik penderita masih relatif sulit dan biayanya mahal sehingga tidak dilakukan sebagai prosedur rutin,” ujar suami Dra Siti Noor Hidayati MM, ayah dua putra ini.
Pria kelahiran Bantul 12 Oktober 1949 inipun menjelaskan, di masa depan dimana teknologi pemeriksaan profil genetik sudah menjadi prosedur rutin yang mudah dan murah sebagaimana pemeriksaan laboratorium lainnya, maka pemberian terapi obat harusnya berdasar antara lain pada profil genetik tiap penderita.
“Oleh karena itu, farmakogenetik dan farmakogenomik dapat menjadi paradigma baru dalam terapi dengan obat, dan seharusnya dikuasai para praktisi medik yang dalam menjalankan profesinya terkait dengan pemberian obat, misalnya dokter umum, dokter gigi dan dokter spesialis, agar hasil terapi menjadi maksimal dengan efek atau toksik yang mungkin timbul dapat dihindari,” tandas Sekretaris Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan FK UGM ini. (Humas UGM).