YOGYAKARTA – Dangdut merupakan musik paling populer di kalangan masyarakat Indonesia. Sejak kemunculannya di tahun 50-an lewat orkes melayu, hingga saat ini, jenis musik yang identik dengan gendang dan suling ini mengalami pasang surut. Dulunya, pernah dianggap sebagai simbol bagi kaum marginal. Namun mengalami masa puncaknya saat dikooptasi Negara lewat media di tahun 1980 hingga 1990-an sehingga bisa diterima luas kelompok masyarakat.
Peneliti musik dangdut asal Amerika, Prof. Andrew Weintraub, mengatakan dangdut tak ubahnya dengan jenis musik lain. Ia tetap berproses mengikuti perubahan selera masyarakat sehingga menuntut ide-ide kreatif bagi seniman dangdut. “Musik selalu berproses. Mengikuti lingkungan dan keadaan sosial yang berubah. Ide-ide pun harus berubah. Selalu ada proses,†kata Andrew dalam peluncuran buku hasil karyanya yang berjudul ‘Dangdut, Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia’ di sekolah Pascasarjana, Selasa (24/4).
Buku tersebut merupakan hasil terjemahan dari buku aslinya ‘Dangdut Stories’. Alasan Andrew menulis buku tersebut, karena kecintaannya terhadap musik dangdut sejak tahun 1984 saat ia masih kuliah program sarjana. Penelitian tentang dangdut terus dilakukannya hingga ia menjadi guru besar musik pada Pittsburgh University, Amerika Serikat.
Dalam buku tersebut, Andrew lebih banyak menceritakan perjalanan musik dangdut sejak kemunculannya era 50-an hingga perkembangannya hingga kini. Tak ingin bukunya mirip sejarah kontemporer, Andrew juga menyertai hasil wawancara dengan para penyanyi dangdut yang pernah terkenal di eranya, seperti Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, Elia kadam. Bahkan dalam buku tersebut dia banyak mengulas tentang polemik antara dua penyanyi dangdut, Rhoma Irama dan Inul Daratista terkait ‘goyang ngebor’.
Anggapan tentang bahwa dangdut sebagai musik nasional masih dipertanyakan oleh Andrew. Pasalnya musik ini justru lebih banyak digemari masyarakat di kawasan Indonesia bagian barat. Sebaliknya di bagian Indonesia timur, dangdut tidak begitu digemari. “Dangdut itu kebanyakan di Indonesia Barat. Walaupun ada dangdut di Maluku, namun tidak begitu populer,†imbuhnya.
Antropolog UGM, Dr. Lono Simatupang, menuturkan ciri khas musik dangdut terletak pada ritmik, lirik, melodi serta cengkok suara sengau sang penyanyinya. “Ada bagian menarik, kaitan cengkok dengan nuansa islami. Penyanyi lebih mudah beradaptasi dengan dangdut karena sedikit mirip teknik vokal seni baca Al’quran,†katanya.
Sementara staf pengajar Prodi Kajian Budaya Media Sekolah Pascasarjana UGM Prof. Dr. Faruk HT, mengatakan dangdut selalu mengalami rezimentasi. Fenomena dangdut koplo saat ini muncul bukan karena jenis dangdut daerah melainkan konsep dangdut yang berbeda yang ingin ditampilkan. Dalam bahasa Farukh disebut sebagai dangdut berkelit. “Bukan meliuk atau tidaknya sang penyanyi, bagaimana menjadi berbeda dan orang merasakan perbedaan itu,†katanya.
Tapi tetap saja pro kontra musik dangdut terus mewarnai dari setiap kemunculannya. Hal itu tidak lepas dari penampilan goyang si biduan yang dianggap seronok bagi kelompok tertentu. Tapi dimaklumi bagi kelompok lain yang berpendapat penampilan tersebut memberikan semangat bagi para penonton. Alhasil, dangdut pun masih mengalami naik turunnya pamor yang menyesuaikan selera dan ketergantungan ide kreatif para seniman dangdut itu sendiri. (Humas UGM/Gusti Grehenson)