Keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan, memperoleh pengetahuan dan kesempatan ekonomi yang lebih baik adalah alasan utama masyarakat Bugis menjadi buruh migran di perkebunan kelapa sawit, Malaysia. Meski mayoritas pekerja migran di negeri “Jiran†ini masih hidup dalam kemiskinan.
Demikian dikemukakan oleh Antropolog Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Hasanudin Nurul Ilmi Idrus dalam seminar “Dilema dan Strategi Kehidupan Pekerja Migran Bugis di Kebun Kelapa Sawit Malaysia,†Kamis (21/80, di Gedung Masri Singarimbun UGM.
Nurul menegaskan, mobilitas yang tinggi menjadi buruh migran di perkebunana kelap sawit Malaysia ini didasarkan pada sebuah filosofi masyarakat Bugis sendiri bahwa dimanapun ada rejeki atau pekerjaan yang dapat bisa mendatangkan uang, maka kesitulah mereka akan mencari, dan salah satunya pilihannya menjadi buruh migran di kebun kelapa sawit.
“Ekspresi kultural ini mendorong laki-laki dan perempuan Bugis untuk meninggalkan Sulawesi Selatan,†katanya.
Mobilitas masyarakat bugis yang tinggi ini, kata Nurul, terkait dengan hirarki masyarakat Bugis untuk untuk menikmati masa depan yang lebih baik dengan diikuti etos kompetisi dalam kehidupan sosial yang lebih baik, disertai dengan semangat kerja keras sehingga terbiasa meninggalkan kampung halamannya dalam jangka waktu lama.
“Tidak heran jika pekerjaan-pekerjaan kasar dan berat seperti di kebun kelapa sawit Malaysia ini menjadi identik dengan pekerja migran asal dari sulawesi selatan,†tandasnya.
Meskipun demikian, imbuh Nurul, upaya untuk melarang masyarakat Bugis untuk pergi mencari kehidupan yang lebih baik ke Malaysia tidak sejalan dengan ketersediaan lapangan kerja di dalam negeri semakin menjadi tidak dilematis. Namun yang lebih relevan yang bisa dilakukan adalah mensosialisasikan Undang-undang tentang ketenagakerjaan, Undang-undang tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri agar calon TKI tidak menjadi mangsa bagi orang-orang yang menarik keuntungan dari mereka tanpa memperhitungakan hak-hak mereka.
“Ini tentunya sangat terkait dengan eksistensi Serikat Pekerja di perusahaan-perusahaan mereka karena dapat menjadi wadah dalam mengeluarkan aspirasi mereka dan mencari solusinya,†ujarnya.
Nurul mengakui, kebijakan pemerintah Malaysia terhadap pekerja migran di kebun kelapa sawit terkesan kurang memberikan perlindungan optimal, padahal ketergantungan indutri kelapa sawit kepada pekerja asal masyarakat Bugis sangat besar sekali.
“Seharusnya ini bisa dijadikan posisi tawar pemerintah kita kepada Malaysia untuk membuat regulasi yang menguntungkan kedua belah pihak, terutama terkait dengan proteksi terjadap pekerja migran kita,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)