Muhammad Hafizurrachman Syarief, mahasiswa program S3 Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran berhasil memecahkan rekor sebagai mahasiswa yang meraih masa studi tersingkat di UGM. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan doktornya hanya dalam kurun waktu 1 tahun 7 bulan. Waktu yang cukup cepat untuk ukuran studi S3 yang rata-rata membutuhkan waktu 3-4 tahun.
Dalam wisuda program pasca sarjana yang berlangsung hari ini, Rabu (25/4) di Graha Saba Pramana disebutkan pula Hafizurrachman berhasil lulus dengan predikat cumlaude dengan IPK 3,76.
Karena berhasil meraih program doktor dalam waktu singkat, Museum Rekor Indonesia (MURI)akan memberikan penghargaan pada pria yang merupakan staf pengajar pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini. Rencananya penyerahan penghargaan dilakukan di Auditorium Fakultas Kedokteran UGM siang ini.
Pencapian tersebut tentunya suatu hal yang membanggakan dari sisi akademik. Bagaimana cara pria kelahiran Jakarta, 15 April 1959 ini bisa sukses menjalankan studinya?
Hafizurrachman mengatakan keberhasilannya itu merupakan buah dari kerja keras dan disiplin selama menjalani studi.Tidak didapat dengan secara tiba-tiba.†Hidup kita bisa berhasil itu karena kerja keras,â€kata pria yang sempat mengikuti pencalonan Rektor UGM 2012-2017 ini.
Lalu kenapa bisa cepat menyelesaikan studi ? Hafizurrachman menjelaskan bahwa dirinya tidak jauh berbeda dengan mahasiswa lainnya. Hanya saja kala itu sebelum dimulainya perkuliahan pada semester pertama ia mengambil program course yang ditawarkan FK UGM. “ Dengan program course ini memang bisa menghemat waktu studi selama satu semester. Saya ambil 6 sks di tiga kota, 2 sks di UI, 2 sks di UGM, dan 2 sks di Unair untuk melengkapi topik mata kuliah pilihan,†jelasnya.
Diakuinya, program course ini bisa menghemat masa studi.Kendati begitu, hal ini bukanlah faktor utama penentu kecepatan masa studinya. Menurutnya, bisa lulus dalam waktu yang singkat karena tidak menemui banyak kendala saat pengerjaan disertasi. “Kebanyakan mahasiswa itu kan nyangkutnya saat mengerjakan disertasi. Ketika tiba masanya nulis disertasi, tidak sedikit yang kebingungan mau menulis apa. Ditambah lagi tidak menguasai metode penelitian , softwarenya, dan Bahasa Inggris, itu biasanya yang jadi penghambat. Kebetulan saya menguasai metode penelitian karena mengajar mata kuliah ini juga†urainya.
Sejak awal masuk Hafizurrachman telah menyiapkan rancangan penelitian. Konsep penelitiannya itu selalu diperkaya dari waktu ke waktu. Sembari meneliti ia mencicil mengerjakan disertasinya itu. “Disertasi saya itu tebalnya 700 halaman dengan sekitar 300 kepustakaan. Sembari meneliti saya mencicil menulis, sehari rata-rata 1-2 halaman jadinya tidak terlalu berat. Semuanya saya kerjakan dengan disiplin,†terangnya.
Hafizurrachman mengungkapkan pendidikan doktor yang diambilnya kini bukanlah yang pertama. Sebelumnya ia telah mengambil doktor di Universitas Negeri Jakarta. Pengalaman tersebut tentunya sedikit banyak membantu saat menjalankan studi di UGM. “Alhamdulilah saya tidak menemui kesulitan karena sudah punya pengalaman. Kalau orang sudah pernah kawin dua kali, saat kawin yang kedua tidak akan susah tentunya karena sudah paham pola belajar diri sendiri,†ujarnya.
Lulusan master dari University California, Berkeley ini tidak pernah menyangka bisa lulus dalam waktu sesingkat ini. Tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya bisa meraih gelar doktor dalam waktu 1 tahun 7 bulan. “Tidak menyangka kalau bisa secepat ini. Saya tidak pernah mentargetkan itu, hanya jalani seusai alurnya saja,†tuturnya.
Menurut pengakuan Hafizurrachman, dirinya sebenarnya bisa lulus dalam waktu yang lebih cepat. “Andaikan saya diijinkan ujian pada saat tanggal yang saya ajukan yaitu pada 11-11-2011,pasti akan lebih singkat waktu studinya. Hanya saja tim promotor menyarankan saya untuk mengundur waktu ujian. Katanya kecepatan, nanti ndak bikin heboh. Padahal saya sudah tidak ngapa-ngapain lagi, nganggur,â€kata Hafizurrachman.
Dalam masa penantian wisuda itu, iseng-iseng ia mengikuti seleksi pemilihan Rektor UGM periode 2012-2017. “ Sembari menunggu wisuda saya ikut dalam pencalonan rektor UGM. Waktu itu saya berkhayal kalau jadi rektor akan melantik diri sendiri. Di ijazahnya nama saya yang tanda tangan juga saya sendiri. Sayangnya tidak terpilih jadi rektor,†katanya sembari tertawa.
Mahasiswa Termuda dan IPK Tertinggi
Selain Hafizurrachaman yang meraih waktu tercepat menempuh studi, dalam wisuda program pasca sarjana periode kali ini disebutkan pula mahasiswa yang meraih gelar doktor dalam usia termuda dan meraih IPK tertinggi.
Adalah Willy Abdillah yang berhasil meraih gelar doktor pada program S3 Manajemen di usia 32 tahun dengan IPK 3,95 dalam waktu 3 tahun 1 bulan.
Perjalanan Willy dalam menempuh studi tidaklah semulus bayangan kita. Bisa kuliah saja menjadi hal yang cukup sulit diwujudkan Willy kala itu, apalagi sampai meraih gelar Doktor seperti saat ini. Willy dibesarkan dalam keluarga sederhana di Palembang. Sang ayah berprofesi sebagai perajin mebel yang menjalankan usahanya secara kecil-kecilan sehingga tidak mampu untuk membiaya studi hingga sarjana. “ Waktu itu sama orang tua tidak diperbolehkan kuliah, tapi disarankan cari sekolah yang langsung kerja,†tutur pria kelahiran Bengkulu, 29 Juli 1979 ini.
Willy muda pun dipaksa melanjutkan pendidikan di sekolah pendidikan keperawatan (SPK) agar setelah tamat bisa langsung ditempatkan bekerja. Rupanya Tuhan berkehendak lain, waktu itu keluar aturan yang menyebutkan bahwa tidak ada lagi jatah penempatan bagi lulusan SPK.
Willy tak patah arang, peristiwa tersebut tidak lantas menjadikannya berputus asa. Sembari bekerja di sebuah rumah sakit ,ia kembali membulatkan tekad untuk melanjutkan kuliah. Lalu ia pun mengambil penyetaran SMA sebagai bekal untuk masuk perguruan tinggi. Setelah dua tahun mengikuti seleksi ujian masuk perguruan tinggi, Willy diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Bengkulu. Dengan biaya sendiri hasil kerja di sebuah rumah sakit, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang telah diperoleh dengan penuh perjuangan. Hal itu dibuktikan dengan meraih gelar sarjana dalam waktu 3,5 tahun dengan IPK 3,76.
Karena jejak rekam akademis yang bagus, usai lulus akhir 2001 ia pun langsung direkrut menjadi asisten dosen pada fakultasnya. Dan pada 2005 ia resmi diangkat sebagai dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Bengkulu. Selanjutnya pada tahun 2007, dengan memanfaatkan tawaran beasiswa, ia menempuh studi program magister di FEB UGM yang pada saat itu dijalankan dengan sistem trisemester. Setahun kemudian Willy berhasil meraih gelar Master dengan capaian IPK 3,95. Melihat catatan perjalanan studi pria yang satu ini menjadi tidak mengherankan lagi jika pada akhirnya pun bisa mencapai prestasi seperti yang diperolehnya kini.
Willy menjelaskan bahwa menempuh pendidikan S3 merupakan sebuah proses pembelajaran jangka panjang. Proses studi yang tentunya sangat jauh berbeda dengan program S1 dan S2. Disini konsistensi mahasiswa sangat diuji. “ Kuncinya pada pengelolaan diri,†ujar Willy yang juga bergabung menjadi peneliti di P2EB FEB dan PSEKP UGM ini.
Menurutnya, hasil yang diperolehnya saat ini bukanlah suatu proses yang singkat tetapi juga akumulasi dari proses yang panjang. Sejak memasuki kuliah di level S1 Willy telah membiasakan diri mempersiapkan segala sesuatunya secara matang dengan penuh kedisiplinan serta melakukan manajemen waktu dengan baik.
Dalam kesempatan itu Willy sempat bercerita kala itu dirinya menempuh pendidikan doktor melalui program leveraging, bukan melalui jalur reguler. FEB, dalam hal ini program MSi mengundang para lulusan S2-nya yang berprestasi salah satunya yang memiliki IPK diatas 3,5 untuk langsung mengambil program doktor. Program tersebut dapat mempercepat masa kuliah hingga satu semester.
Saat disinggung tentang perasaan ketika dinyatakan sebagai mahasiswa termuda dan IPK tertinggi dalam wisuda kali ini, Willy menguraikan jawabannya,†Saya itu hanya beruntung, diberi banyak kemudahan oleh Allah. Begitu pula dengan tim promotor yang tidak menghalang-halangi, dari setiap rencana yang saya buat tidak banyak kendala,â€.
Menurutnya pencapaian tersebut bukanlah hal utama dan tidak perlu dibanggakan secara berlebihan. Justru menjadi pekerjaan rumah adalah setelah itu bisa menunjukkan hasil yang diperoleh selama studi. Menunjukkan kualitas yang tentunya lebih baik. “ Kriteria keberhasilan kan bukan dari lulusnya cepat atau tidak, tapi bagi dosen lebih ke arah bagaimana bisa menunjukkan kualitas diri yang lebih baik, membuat lebih banyak publikasi dan riset. Ini menjadi beban sebenarnya, dan harus bisa dipenuhi ,†jelasnya menutup perbincangan. (Humas UGM/Ika)