
YOGYAKARTA-Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Pendidikan, Prof. Dr. Ir. H. Musliar Kasim, M.S., menilai belajar mandiri belum menjadi budaya bagi banyak perguruan tinggi (PT) di Indonesia. Beberapa perguruan tinggi masih sangat kurang memiliki motivasi untuk belajar mandiri, termasuk aktivitas nonkurikuler. Padahal, kemandirian merupakan salah satu nilai pembentuk karakter bangsa. “Ini yang terjadi di lapangan. Kita kurang serius dalam menempa diri, memajukan kampus, memajukan daerah dan bangsa ini,†kata Musliar Kasim dalam 90 Minutes Seminar on Knowledge Partnership dengan tema Pendidikan Karakter di Ruang Multimedia UGM, Jumat (4/5).
Selain kemandirian yang belum menjadi budaya, belum semua kampus maksimal dalam mengeksplorasi potensi mahasiswa jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa Asia yang maju lainnya, seperti China dan Korea. Musliar mencontohkan negara Korea. Saat ini, Korea hampir menyamai Jepang dalam bidang automotif dan elektronik. Mobil Hyundai, merek Samsung, sudah menguasai pasar dunia termasuk ke Timur Tengah. “Mereka bisa karena ada kemauan, kerja keras, dan motivasi untuk bisa. Sementara kita terkadang masih belum mau mengerjakan sesuatu di luar kebiasaan. Kita masih menjalankan business as usual,†terangnya.
Terkait dengan pengembangan pendidikan karakter, Musliar mengatakan tidak dapat terlepas dari peran keluarga, sekolah, dan masyarakat. Selain melibatkan tiga pihak tersebut, penanaman dan pengembangan pendidikan karakter memerlukan proses pembiasaan. Musliar menjelaskan beberapa langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan pendidikan karakter, mulai dari pembentukan tim sosialisasi dari pusat hingga daerah, pemetaan kesiapan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, hingga rencana penerapan Ikrar Siswa Indonesia. “Akan kita coba dengan Ikrar Siswa Indonesia. Negara sebesar Amerika saja sampai saat ini para siswanya masih rutin mengucap ikrar (janji). Diharapkan hal ini akan semakin memupuk semangat cinta tanah air sehingga karakter mereka akan lebih terbentuk,†kata Musliar.
Dalam acara yang dibuka oleh Rektor UGM, Prof. Ir.Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., tersebut Musliar juga sepakat dengan masukan dari beberapa pakar UGM. Beberapa masukan yang dimaksud, antara lain, pendidikan karakter tetap harus berdasar pada local wisdom (kearifan lokal) di masyarakat, memahami adanya multikulturalisme dan berkelanjutan. “Tentu kita tidak akan banyak intervensi terutama di bangku perguruan tinggi sehingga ada kreatifitas dan kebebasan untuk pengembangan pendidikan karakter ini,†pungkas Musliar. (Humas UGM/Satria AN)