YOGYAKARTA – Pendidikan di Indonesia ditengarai oleh sebagian pakar dianggap kurang relevan dengan kebutuhan pasar. Pasalnya, pendidikan tinggi lebih menitikberatkan pada pendidikan akademis ketimbang pendidikan vokasional yang menghasilkan tenaga kerja terampil. Alhasil, banyak lulusan yang tidak menguasai aspek keahlian yang sesuai dengan diharapkan lapangan kerja. “Program keahlian selalu dianggap program kelas dua dan subordinasi dari program akademik sehingga kualitas peserta didik tidak memenuhi persyaratan minimal yang diperlukan bagi pendidikan keahlian,†kata dosen sekaligus pengelola Prodi Akuntansi Sekolah Vokasi UGM, Drs. Herman Legowo, M.Si., Ak., dalam Seminar Nasional ‘Repositioning Pendidikan Vokasi’ di Hotel Santika, Sabtu (5/5).
Rendahnya jumlah tenaga ahli di tingkat madya yang seharusnya mampu menjembatani komunikasi tenaga ahli dan tenaga kerja lapangan menyebabkan lebih banyak perusahaan menggunakan tenaga kerja lapangan tak terdidik. Sebagian besar adalah buruh musiman yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak yang mendapatkan keahliannya secara turun-temurun. “Karenanya tingkat keahlian mereka sukar ditingkatkan,†katanya.
Menurut Herman, perlu dilakukan rekonstruksi terhadap pendidikan Indonesia sehingga misi mencetak manusia yang cerdas dan kompetitif di era global dapat tercapai. Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi, Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D., menyebutkan baru sekitar 5.363.791 penduduk usia 19-23 tahun yang mendapatkan akses sekolah di pendidikan tinggi. Jumlah tersebut masih minim dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 19-23 tahun yang berjumlah sekitar 19,85 juta orang. “Jadi, baru sekitar 27,16% pemuda yang bisa mengakses pendidikan tinggi,†katanya.
Tidak hanya itu, kuantitas dan kualitas jasa pendidikan tinggi menjadi faktor pemicu kesenjangan akses regional antardaerah dalam perekrutan calon mahasiswa. Dari keseluruhan mahasiswa yang berjumlah 5,3 juta, sekitar sepertiganya terkonsentrasi di daerah Jakarta dan Yogyakarta. Minimnya akses pendidikan tinggi membawa dampak rendahnya pendidikan tenaga kerja di lapangan. Umumnya, tenaga kerja adalah lulusan sekolah dasar dan tidak tamat sekolah dasar yang jumlahnya mencapai di atas 50%. Selanjutnya, lulusan SMP 18,9%, SMA 14,60%, SMK 7,8%, S-1 4,6%, dan diploma 2,7%.
Kendati rendahnya tingkat pendidikan mempersempit akses untuk mendapatkan lapangan pekerjaan, kondisi di lapangan menunjukkan makin tinggi jenjang pendidikan, makin tinggi pula kecenderungan untuk bekerja pada pekerjaan yang diciptakan orang lain. Hal itu disebabkan dari hasil sensus penduduk berdasarkan kepemilikan pekerjaan diketahui bahwa sebagian besar lulusan perguruan tinggi memilih bekerja sebagai karyawan dan pegawai. “Persentasenya mencapai 74%. Hanya 22,6% yang memilih jadi wirausaha,†katanya. Sebaliknya, lulusan SD atau tidak tamat SD meski kesempatan menjadi buruh atau karyawan hanya 10,8 %, sekitar 65 % justru memiliki pekerjaan milik sendiri.
Ketua Panitia Seminar, Faiz Zamzani, S.E., M.Acc., kepada wartawan mengatakan acara seminar bertujuan untuk memperjelas arah dan tujuan pendidikan vokasi di Indonesia. Seminar dihadiri oleh 300-an peserta yang berasal dari pengelola politeknik dan sekolah vokasi se-Indonesia serta kepala sekolah SMK se-Indonesia. (Humas UGM/Gusti Grehenson)