
YOGYAKARTA-Mantan Menteri Pendidikan Nasional, Prof.Dr.Bambang Sudibyo, M.B.A berharap pemerintah terus menambah porsi pendidikan kejuruan misalnya dalam hal jumlah peserta didik. Bambang mencontohkan jika di tahun 2004 rasio jumlah peserta didik SMA:SMK adalah 70:30, maka diharapkan dalam waktu 10 tahun porsinya dibalik menjadi 30:70.
Bambang Sudibyo memberikan data di tahun 2009 rasio jumlah peserta didik SMA:SMK adalah 51:49. Sedangkan di tahun 2011 rasionya telah berubah menjadi 49:51.
“Ada perubahan meskipun tambahnya sedikit lambat. Mudah-mudahan ke depan porsinya akan semakin banyak lagi,â€papar Bambang pada Seminar Nasional Repositioning Pendidikan Vokasi yang diadakan oleh Program Diploma Ekonomika dan Bisnis UGM di Hotel Santika, Sabtu (5/5).
Dengan terus bertambahnya rasio peserta didik SMK ini menurut Bambang mindset masyarakat tentang pendidikan kejuruan berhasil diubah. Kiprah SMK dari waktu ke waktu juga telah menunjukkan prestasi seperti hadirnya mobil ESEMKA, pesawat terbang ESEMKA serta computer ESEMKA.
“Memang sesuai UU Sisdiknas nantinya setiap kabupaten/kota harus ada rintisan SMK bertaraf internasional. Kebijakan ini perlu dimulai pada tingkat pendidikan tinggi,â€imbuhnya.
Pengakuan terhadap lulusan pendidikan kejuruan, kata Bambang, juga perlu didorong kepada perusahaan bahkan pemerintah ketika berlangsung proses rekrutmen tenaga kerja/PNS. Saat ini proses rekrutmen tenaga kerja masih banyak berdasarkan ijazah yang dimiliki dan bukan kompetensi.
“Harusnya kompetensi bukan semata-mata ijazah. Ini yang harus diubah karena kita bukan pemasok tenaga kerja tapi pengguna tenaga kerja,â€tegasnya.
Sementara itu Dosen Program Studi Akuntansi Sekolah Vokasi UGM, Drs. Herman Legowo, M.Si., Ak. Menilai arah pendidikan di Indonesia kurang relevan dengan kebutuhan pasar. Hal ini terjadi karena pendidikan di Indonesia lebih mengarah kepada pendidikan akademis daripada pendidikan vokasional yang menghasilkan tenaga kerja terampil. Kondisi ini berbeda dengan negara maju seperti Australia, Taiwan, Korea, dan Jepang. Di beberapa negara itu pendidikan vokasional jauh lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan akademik.
“Di sana 10-15 persen saja yang masuk ke pendidikan akademik sedang lainnya justru masuk pendidikan vokasional,â€kata Herman.
Dampak sebagian besar perguruan tinggi (PT) di Indonesia lebih banyak menekankan pada pendidikan akademik dibandingkan pendidikan vokasional mengakibatkan banyak lulusan PT tidak menguasai aspek keahlian yang diharapkan oleh lapangan kerja. Selain itu program keahlian selalu dianggap program kelas dua dan sub-ordinasi dari program akademik, sehingga kualitas peserta didik seringkali tidak memenuhi persyaratan minimal yang diperlukan bagi pendidikan keahliannya.
“Maka perlu rekonstruksi terhadap dunia pendidikan kita agar misi untuk mencetak manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif di era global bisa dicapai,â€tutur Herman.
Senada dengan itu Ketua Komisi Harmonisasi dan Kelembagaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Ir.Surono, M.Phil menjelaskan adanya Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) sebagai jembatan antara sektor pendidikan dan pelatihan untuk membentuk SDM nasional berkualitas dan bersertifikat melalui skema pendidikan formal, non formal, in formal, pelatihan kerja atau pengalaman kerja.
“Dengan KKNI ini ada pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor,â€kata Surono (Humas UGM/Satria AN)