YOGYAKARTA – Bulog memperluas basis pemasukan gabah melalui strategi ‘dorong-tarik’ dan pengembangan ‘jaringan semut’. Strategi ini dimaksudkan untuk mempercepat arus pengadaaan melalui kerja sama Bulog dan pemda. Dalam hal ini, pemda mendorong produksi padi lewat kelompok tani, sementara Bulog menyerap hasilnya.
Untuk strategi jaringan semut, Bulog membeli gabah dan beras petani langsung dari kelompok tani dan penggilingan-penggilingan kecil yang sarananya terbatas serta mendorong masuknya mitra-mitra baru dengan sistem pelayanan yang mudah, cepat, dan sederhana. “Sampai akhir April, pembelian Bulog telah mencapai di atas 1,32 juta ton atau naik 57% dari pengadaan tahun lalu,†kata Dirut Perum Bulog, Soetarto Alimoeso, dalam Seminar ‘Penguatan Agribisnis Perberasan dalam Mewujudkan Kemandirian dan Kesejahteraan Petani’, Minggu malam (6/5), di University Club.
Menurut Sutarto, upaya ini dinilai cukup efektif yang ditandai dengan semakin banyaknya mitra pengadaan dan kecepatan pengadaan yang jauh lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Bulog tengah mempelajari kemungkinan untuk masuk ke penggilingan-penggilingan kecil dalam bentuk kerja sama investasi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kapasitas produksi dan modernisasi penggilingan kecil agar mampu menghasilkan gabah dan beras yang lebih baik.
Apa yang dilakukan Bulog saat ini berbeda dengan pada masa lalu, yang dianggap Bulog hanya membeli saat harga jatuh dan mengeluarkan cadangan beras saat harga naik. “Tapi ada perubahan mindset, bulog harus punya stok. Bulog mau tidak mau perlu melakukan pengadaan sebesar-besarnya,†katanya.
Sutarto menuturkan masa panen tidak terjadi sepanjang tahun. Biasanya panen raya adalah pada bulan Maret hingga Agustus. Pada waktu-waktu itu Bulog melakukan pengadaaan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan stok beras. “Pembelian beras petani oleh Bulog selama sepuluh tahun rata-rata lima persen. Kalau di atas 8-9 persen apabila produksinya lebih,†imbuhnya.
Sehubungan dengan langkah kebijakan impor untuk pengadaan beras, menurut Sutarto, merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Pasalnya, kebutuhan dan produksi beras dalam negeri tidak seimbang. Berdasarkan hasil catatan, baru tiga kali pemerintah melakukan kebijakan tidak impor beras, yakni tahun 1993, 2008, dan 2009. “Tapi tetap saja (kebijakan) impor beras dianggap haram dan itu ulahnya Bulog,†katanya.
Sutarto mengakui dirinya sebenarnya berharap tidak melakukan kebijakan impor. Namun, merujuk fakta di lapangan dan realitas politik, ia harus melakukan itu. “Di Bulog, kebijakan yang sifatnya politis lebih besar ketimbang hitungan teknis dan analitis,†ujarnya.
Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, mengatakan perlu penguatan agribisnis untuk meningkatkan ekonomi perberasan seiring dengan perubahan perilaku konsumen dengan meningkatknya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan beras yang mereka inginkan. “Kualitas beras Bulog harus tidak lagi sebatas beras raskin,†katanya.
Bayu menyebutkan dari 240 juta masyarakat Indonesia, sekitar 100 juta tinggal di desa dan 120 juta tinggal di kota. Diperkirakan sekitar 40 juta orang yang berada di 10 kota besar masuk dalam kategori kelas menengah ke atas yang memiliki penghasilan di atas 20 juta rupiah per bulan sehingga butuh beras dengan kualitas yang berbeda.
Gayatri K. Rana, Kepala Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan,
menuturkan jumlah penduduk yang rawan pangan masih relatif tinggi, yakni sekitar 13% dari total penduduk. Hal itu terjadi karena ketergantungan konsumsi beras dalam pola konsumsi pangan masih tinggi. “DIY merupakan satu-satunya daerah yang tingkat kerawanan pangan paling rendah, tapi untuk diversifikasi pangan masih berada di posisi enam karena konsumsi beras dan terigu masih relatif tinggi,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)