Perkembangan batik laweyan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, baik Pemerintah Kota Surakarta maupun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Salah satunya terlihat dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan. Kebijakan tersebut diharapkan mampu mengoptimalkan dukungan dana untuk pengembangan batik laweyan.
Hal tersebut disampaikan Erma Setiawati, Ak., MM., staf pengajar pada Universitas Sebelas Maret (UNS), dalam ujian terbuka program doktor pada Program Studi Kebijakan Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (7/5), di Sekolah Pascasarjana UGM. Dalam kesempatan itu, Erma memaparkan disertasi berjudul ‘Pengembangan Komoditas Batik: Determinasi Budaya Ekonomi dan Perubahan Struktur Politik terhadap Perkembangan Usaha Ekonomi Lokal (Studi tentang Pengusaha Batik Laweyan Surakarta)’.
Erma menyebutkan keeksisan pengusaha batik laweyan didukung oleh pemerintah melalui kebijakan yang dikeluarkan, antara lain yang tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 dan Nomor 32 Tahun 2004. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat dalam mendukung kemajuan usaha pengembangan batik laweyan adalah dengan mewajibkan para pegawai untuk mengenakan seragam batik pada hari-hari yang telah ditentukan.
Ditambahkan Erma bahwa Pemerintah Kota Surakarta juga melakukan sejumlah upaya promosi, baik melalui kegiatan pameran, mendaftarkan motif-motif batik kuno ke Kementerian HAM dan HAKI, serta mengadakan kegiatan misi dagang untuk mendukung pelaku industri batik laweyan. Upaya lain juga dilakukan dengan membentuk Kampoeng Batik Laweyan sebagai kampung wisata batik. “Juga membantu penguatan modal usaha melalui akses dengan BUMN,†ujarnya.
Selain dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, perkembangan industri batik laweyan juga dipengaruhi oleh budaya ekonomi masyarakat Laweyan. Awalnya, usaha batik laweyan merupakan usaha industri rumahan. Seiring dengan perkembangan, usaha tersebut berubah menjadi usaha pabrikan yang secara otomotis turut mengubah sistem perekonomian usaha di dalamnya. Perubahan ini membedakan sistem ekonomi yang dilakukan juragan dengan tenaga kerja upahan atau perajin batik. Juragan dalam mengelola usaha menginginkan untung sebesar-besarnya, sementara perajin batik berbasis ekonomi rumah tangga. Dengan kata lain, ekonomi perajin batik mendekati tipe ekonomi bazaar, sedangkan juragan mendekati tipe ekonomi firma.
Erma mengatakan ekonomi tipe bazaar dan ekonomi firma memiliki mekanisme sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain. Meskipun demikian, hasil penelitian Erma menunjukkan hal yang menarik. Meskipun juragan dan perajin batik memiliki mode ekonomi sendiri-sendiri, tetapi hubungan keduanya terus berjalan satu sama lain. Hal ini tampak pada jaringan hubungan dagang langganan tetap ‘ngalap nyaur’ (ambil barang terlebih dahulu, dibayar belakangan) antara juragan dan perajin batik rumahan. “Budaya ekonomi batik laweyan memiliki ciri tersendiri, yaitu budaya ekonomi bazaar dengan salah satunya hubungan sosial mereka lebih pada resiprositas,†jelasnya. (Humas UGM/Ika)