YOGYAKARTA-Para pengambil kebijakan, perencana program dan pemegang kekuasaan harus sensitif dan menggunakan analisa gender dalam melihat permasalahan yang ada. Tidak hanya itu, dalam menghadapi setiap persoalan tersebut para pengambil kebijakan juga tidak akan lepas dari adanya kultur. Menurut peneliti dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Dr. Budi Wahyuni, kewaspadaan dibutuhkan karena kultur yang dijalani selama ini adalah budaya patriarkhi.
“Budaya yang menganggap bahwa laki-laki mempunyai nilai lebih bahkan cenderung menguasai perempuan,â€tegas Budi Wahyuni dalam Pelatihan Analisis Gender Kerjasama Pusat Studi Wanita (PSW) UGM dengan IPDN, di University Club, Jumat (11/5).
Menurut Budi, analisis gender menjadi penggerak, pemicu untuk selalu berpikir kritis pada perubahan menuju ke nilai-nilai yang lebih setara. Upaya ini tidak mudah, karena akan menggoyahkan tatanan yang selama ini sudah dinikmati oleh para patriarkhat dan perempuan akan merasa bersalah jika tidak mengikuti nilai-nilai yang sudah ada, nilai yang dibangun dalam budaya patriarkhat.
“Upaya untuk pemenuhan HAM bagi perempuan dan perlindungan bagi seluruh kehdiupan yang nir kekerasan, nir diskriminasi menuju kehidupan yang egaliter dan menghormati keberagaman,â€tutur Budi.
Selama ini Budi menilai telah terjadi ketimpangan konstruksi gender. Banyak persoalan yang muncul dari adanya ketimpangan gender itu, seperti kekerasan terhadap perempuan, marginalisasi perempuan, beban ganda dan peran baku terhadap perempuan.
Pada kasus kekerasan terhadap perempuan Budi menilai adanya UU PKDRT No.23/2004 belum mampu menurunkan angka perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Maraknya atau meningkatnya kasus perceraian dianggap sebagai akibat perempuan sudah tidak lagi mau diatur atau terlalu banyak menuntut. Budi menunjukkan data salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang mencatat rata-rata 2000 pemohon perceraian dan sebagian besar dilakukan oleh perempuan dengan masa perkawinan lebih dari 8 tahun.
“Diakui atau tidak kesadaran perempuan membuat perempuan harus memilih yang terbaik diantara yang buruk dan menempuh perceraian sebagai upaya memutus mata rantai kekerasan dalam rumah tangga,â€paparnya.
Di sisi lain, perempuan khususnya ibu rumah tangga (IRT) sebagaimana survei yang pernah dilakukan menunjukkan pada posisi tertinggi mengidap HIV. Dalam pandangan Budi, diakui atau tidak perempuan IRT memang sangat rentan dengan berbagai penyakit yang diakibatkan oleh perilaku seksual yang tidak sehat, terutama dari suami.
“Perempuan yang diberi mandat untuk hamil dan melahirkan harus lebih waspada, karena jika terpapar HIV, maka bayi yang dilahirkan berpeluang untuk tertular dan tidak diseyogyakan memberi ASI. Akibatnya, banyak perempuan yang mengidap HIV berpikir untuk tidak punya anak. Ujung-ujungnya banyak perempuan yang tidak memberi keturunan kemudian dicerai,â€pungkas Budi Wahyuni (Humas UGM/Satria AN)