
YOGYAKARTA-Kontekstualisasi agama dan adat dalam proses konstruksi identitas Komunitas Muslim Hatuhaha (KMH) telah terjadi di negeri Pelauw, dan hal ini berlangsung hingga kini. Orang Hatuhaha di Pelauw sejak para leluhurnya dulu sudah mengkontekstualisasi ajaran Islam dan kepercayaan lama yang tampak pada praktik adat dalam berbagai ritual harian maupun musiman komunitas setempat.
“Yang menarik dari proses kontekstualisasi ini adalah adanya relasi dialektis adat dan agama,â€tegas Yance Zadrak Rumahuru pada ujian terbuka program doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (14/5). Pada kesempatan tersebut Yance mempertahankan disertasinya yang berjudul Islam Syariah dan Islam Adat: Konstruksi Identitas Keagamaan dan Perubahan Sosial di Kalangan Komunitas Muslim Hatuhaha di Negeri Pelauw. Penelitian Yance ini dilakukan pada Komunitas Muslim Hatuhaha (KMH) di Negeri Pelauw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Menurut Yance selama ini studi Islam di Maluku Tengah masih tergolong studi yang marjinal, berbeda dengan keberadaan Islam di Maluku Utara maupun Islam pada wilayah lain di Indonesia. Sejauh ini Islam di Maluku Tengah belum dijadikan isu penelitian ‘seseksi’ Islam di Jawa, Sumatera dan Nusa Tenggara.
Sejak Islam diterima di negeri Pelauw, kata Yance, ajaran agama dan adat diposisikan sejajar dan tidak saling menghakimi satu dengan yang lain. Namun demikian, dalam perkembangan kemudian sebagian warga KMH di negeri Pelauw memandang perlu dilakukan pemurnian ajaran Islam dan pelaksanaan tuntutan ajaran Islam secara lebih baik. Hal ini menjadi alasan terjadi konflik internal di Pelauw tahun 1939, yang menandai terbentuknya kelompok Islam syariah dan kelompok Islam adat.
“Konstruksi identitas keagamaan tidak terlepas dari pengaruh kepentingan ekonomi, budaya dan politik,â€tutur dosen dosen Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN) Ambon itu.
Dalam penelitian Yance juga terungkap bahwa agama Islam telah menjadi kekuatan penting bagi perkembangan masyarakat dan perubahan sosial di kalangan KMH di negeri Pelauw. Perbedaan penafsiran dan praktik keagamaan kelompok syariah dan kelompok adat berdampak pada sikap keberagaman mereka.
Kelompok adat lebih terbuka terhadap kebudayaan lokal dengan mengkombinasikan nilai-nilai agama dan kebudayaan lokal setempat sebagai kekuatan religious dan spiritual mereka, sementara kelompok syariah memisahkan secara tegas unsur-unsur kebudayaan lokal yang dianggap berseberangan dengan dengan ajaran agama.
“Berbeda dengan kedua kelompok tersebut, sebagian warga yang dikategorikan sebagai kelompok transformasi memiliki sikap positif terhadap kebudayaan lokal dan agama, dengan tetap menjaga jarak kritis terhadap agama maupun kebudayaan lokal,â€katanya.
Diakui Yance, dinamika masyarakat dalam rentetan berbagai peristiwa historisnya menunjukkan bahwa keberadaan agama (Islam) telah menjadi fondasi bagi perkembangan masyarakat dan perubahan sosial di Pulau Haruku, Maluku Tengah. Melalui pilihan terhadap Islam sebagai agama formal, orang Pelauw dan negeri-negeri muslim lain di Pulau Haruku dengan mudah membangun hubungan dagang dengan para pedagang Arab dan suku bangsa Melayu lain yang beragama Islam.
“Jadi menarik diteliti karena memang ada kekhasan dalam praktik keagamaan KMH di negeri Pelauw, yang tidak dijumpai pada negeri-negeri lain di Maluku Tengah maupun di tempat lain,â€pungkas Yance yang berhasil meraih doktor dengan predikat cum laude tersebut (Humas UGM/Satria AN)