Sebagai lembaga keuangan mikro, Credit Union (CU) di Indonesia berpotensi berkembang menjadi lembaga keuangan yang mandiri dan tumbuh secara berkelanjutan. Pasalnya CU dibangun sesuai dengan kebutuhan masyarakat, didukung oleh lingkungan kelembagaan yang kondusif, dan mandiri secara keuangan. Demikian disampaikan oleh Drs. Titus Odong Kusumajati, M.A., saat mempertahankan disertasi berjudul “Faktor Kelembagaan Dalam Keberlanjutan Credit Union di Indonesiaâ€, dalam ujian terbuka program doktor, Senin (20/5) di Auditorium BRI Program M.Si dan Doktor Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM.
Staf pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini mengatakan bahwa kinerja CU di Indonesia didukung oleh faktor sosial budaya terutama adat lokal. Adat lokal dipakai sebagai pertimbangan dalam perancangan produk-produk simpan-pinjam, pernacangan mekanisme pelayanan, dan aturan-aturan pengelolaan CU.
Credit Union merupakan sebuah lembaga keuangan berbentuk koperasi yang menyediakan jasa-jasa keuangan seperti yang diselenggarakan oleh lembaga perbankan seperti tabunganm pinjaman, asuransi, dan jasa pengiriman uang.
Menurut Titus, CU di Indonesia dapat dikategorikan sebagai lembaga keuangan yang sehat dan menguntungkan secara berkelanjutan karena mampu mencapai struktur finansial yang efektif dan . sebagian besar modalnya disalurkan pada alternatif investasi pinjaman anggota yang memberikan bunga tinggi. Disamping hal tersebut CU juga dapat mengelola likuiditas sehingga berada diposisi yang relatif aman untuk kebutuhan likuid dan operasional CU. “ Lembaga ini juga mampu beroperasi secara menguntungkan melalui biaya operasi yang relatif rendah dengan tetap memperhatikan kesejahteraan anggota serta dapat menghasilkan tingkat bunga yang bisa memempertahankan nilai riil simpanan anggota,†imbuhnya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di salah satu Credit Union di Wonosobo dan di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat diketahui bahwa CU mampu menghasilkan keuntungan. Kendati begitu, hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa CU belum dapat menunjukkan kemampuan yang emmadai dalam mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul dari usahanya melalui penyediaan dana cadangan risiko dalam jumlah yang memadai. Selain itu CU juga belum menujukkan kemampuan yang memadai dalam mencapai tingkat ketersediaan modal lembaga yang optimal meskipun modal lembaga tersebut merupakan sumber utama bagi pengembangan usaha CU. “Jadi penting bagi CU untuk mengupayakan ketersediaan dana cadangan risiko dan modal dalam jumlah yang cukup melalui kebijakan pengalokasian dana sisa hasil usaha (SHU),†jelas Titus.
Titus menambahkan sebagai lembaga keuangan yang berbasis pada kondisi osial ekonomi anggotanya, CU juga perlu memperhatikan kelayakan ekonomi ushahaya berdasar potensi ekonomi anggota dan wilayah dimana CU berada. Dengan hal tersebut diharapkan CU dapat membuat perencanaan mengenai skala usaha yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi. “Pada umumnya CU belum memilki standar skala usah aminimal yang dapat menjamin tercapainya kemandirian keuangan. Untuk itu perlu diperhatikan pula untuk standar tentang skala usaha minimal ini,†paparnya. (Humas UGM/Ika)