Penyakit kardiovaskuler, termasuk di dalamnya sindrom koroner akut (SKA), merupakan penyebab kematian utama di negara maju dan diperkirakan menetap serta menjadi penyebab kematian utama di dunia pada masa datang. Manifestasi klinis penyakit jantung koroner (PJK) secara nomenklatur dibedakan menjadi angina pektoris stabil (APS) dan sindrom koroner akut (SKA). SKA dibedakan lagi menjadi infark miokard akut elevasi segmen ST (STEMI) dan sindrom koroner akut non elevasi segmen ST (SKA Non STE), yang terdiri atas infark miokard non elevasi segmen ST (NSTEMI) dan angina pektoris tidak stabil (APTS).
Demikian dikatakan dr. Budi Yuli Setianto, Sp. PD(K)., Sp.JP(K) saat ujian terbuka progam doktor ilmu kedokteran dan kesehatan, Fakultas Kedokteran UGM, Sabtu (26/5). Staf pengajar Fakultas Kedokteran UGM dan dokter jantung RSUP Dr. Sardjito ini mempertahankan disertasi “Aktivitas Serum Matriks Metaloproteinase-9 (MMP-9) dan Polimorfisme Nukleotida Tunggal (SNP) MMP-9-1562C>T pada Pasien Infark Miokard Akut Elevasi Segmen ST (STEMI) Dibanding dengan Sindrom Koroner Akut Non Elevasi Segmen ST (SKA Non STE)”.
Dikatakan Budi Yuli Setianto bahwa pasien usia lanjut memiliki risiko tinggi, tetapi sering kurang mendapat tindakan yang memadai. Untuk memperbaiki keluaran pada pasien usia lanjut laki-laki dan perempuan dengan APTS/ NSTEMI semestinya ditangani dengan lebih agresif. Sementara itu, faktor risiko tradisional, seperti diabetes mellitus, hipertensi, merokok, dan dislipidemia lebih banyak ditemukan pada kelompok SKA Non STE dibandingkan dengan STEMI. Meski begitu secara statistik perbedaan ini tidak bermakna. “Dikarenakan faktor risiko tradisional bukan sebagai prediktor manifestasi klinis antara STEMI dan SKA Non STE, namun lebih ke arah mudahnya seseorang untuk menderita PJK,” ujarnya di Auditorium FK UGM.
Dari penelitian yang dilakukan, Budi berkesimpulan terdapat aktivitas MMP-9 yang lebih tinggi secara bermakna pada kelompok STEMI dibandingkan dengan kelompok SKA Non STE. Dalam penelitian juga didapati frekuensi olimorfisme SNP MMP-9 -1562C>T yang lebih tinggi pada kelompok STEMI dibandingkan dengan kelompok SKA Non STE. Sementara itu, adanya polimorfisme MMP-9 menjadikan kadar MMP-9 yang tinggi akan memberikan risiko estimasi STEMI sebanyak 4 kali (efek modifikasi).
Budi Yuli Setianto lebih lanjut memberikan saran diperlukan penelitian dengan desain kasus kelola untuk mencari hubungan sebab akibat antara MMP-9 dan kejadian masing-masing tipe SKA atau cohort untuk membuktikan MMP-9 sebagai faktor prediktor. Juga perlu dicari bentuk polimorfisme genetik MMP-9 yang lain di samping polimorfisme SNP -1562C>T di regito promoter, yang berperan pada regulasi MMP di tingkat induksi ekspresi. (Humas UGM/ Agung)