Yogya, KU
Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSKP) UGM Prof Dr Susetiawan menegaskan dirinya tidak yakin rencana pemerintah bersama DPR membuat undang-undang baru tentang desa dapat memberikan jaminan bagi desa dan masyarakatnya untuk memiliki kedaulatan, mandiri dan berkembang. Karena sebelumnya sudah pernah ada 10 peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa. Namun demikian, kesemua peraturan tersebut belum memberikan kedaulatan pada desa, sebaliknya sebagai obyek kepentingan politik.
“Saya khawatir dan belum yakin, RUU baru tentang desa ini apakah nantinya akan memberikan kedaulatan pada desa atau jangan-jangan desa menjadi obyek semata dari kepentingan politik,†ujar Susetiawan, dalam diskusi RUU Desa, Kamis sore (4/9) di ruang seminar PSPK UGM.
Susetiawan menyebutkan, kurang lebih 10 peraturan perundang-undangan yang pernah mengatur tentang desa. Beberapa diantaranya UU yang mengatur tentang desa dimulai dari jaman kolonial sampai dengan keluarnya UU No 19 tahun 1965 tentang desa swapraja.
“UU ini lebih menunjukkan posisi desa dalam negara NKRI yang memiliki kedaulatan,†katanya.
Kemudian dilanjutkan dengan UU No 6 tahun 1969 yang merupakan maklumat politik orde baru yang mencabut dan tidak memberlakukan seluruh perundang-undangan dan peraturan tentang desa. Setelah itu, diganti dengan UU No 5 tahun 1974 dan seterusnya UU No 5 tahun 1979 dimana posisi desa tidak lagi memiliki kedaulatan. Kedaulatan ini muncul ketika berlangsung UU No 22 tahun 1999. Posisi kedaulatan kemudianhilang lagi ketika muncul UU No 32 tahun 2004.
“Meskipun demikian, kelebihan UU No 32 ini dari UU Orba adalah desa mendapat alokasi dana desa menurut PP 72 tahun 2006,†katanya.
Menurut Susetiawan, sejak dari dulu desa masih menjadi obyek kepentingan para elit politik birokrasi negara daripada bagaimana menjamin desa dan masyarakatnya memiliki kedaulatan agar mereka mandiri dalam perkembangannya.
“UU bukan mengatur desa berkembang lebih baik, tetapi lebih sebagai upaya legitimasi bagi departemen untuk mendapatkan alokasi anggaran dari APBN,†imbuhnya.
Dalam pandangan Susetiawan, fakta yang terjadi sekarang ini menunjukkan bahwa birokrasi negara belum berubah dari paradigma lama yang sentralistis ke paradigma baru yang desentralistis, hal tersebut semakin terbukti dengan adanya perebutan kepentingan tentang kewenangan pengusulan RUU desa.
“Ini semakin jelas, pusat masih menempatkan desa dan masyarakatnya sebagai obyek pembangunan yang diatur oleh kepentingan elit politik dan birokrasi pusat,†jelasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)