Yogya, KU
Semakin kuat dominasi dan intervensi negara melakukan penataan terhadap persoalan masyarakat yang heterogen akan semakin melemahkan masyarakat untuk mendapatkan kebenarannya. Hal ini terjadi akibat negara dalam merumuskan kebijakannya tanpa meperhatikan prinsip-prinsip heterogenitas dan kelokalan sebagai dasar pertimbangan utama.
Demikian diungkapkan Victorius Adventius Hamel, Sth, Msi dalam Ujian Terbuka Promosi Doktor Program Pascasarjana Fakultas Isipol UGM, Rabu sore (10/9), di ruang seminar Fisipol UGM. Dalam mempertahankan disertasinya yang berjudul “Negara Kuat Rakyat Lemah (Dominasi dan Intervensi Negara dalam Menata Kebijakan Masyarakat yang Heterogen di Indonesia 1950-1998)†di hadapan tim penguji, promovendus menyebutkan selama kurun waktu tahun 1950 hingga 1998, model perumusan kebijakan negara sebagian besar didominasi oleh cara pandang para teknokrat demi kepentingan politik negara yang akhirnya menjadi bersifat elitis.
“Apa yang terjadi di era pemerintahan yang lalu, hampir sebagian besar didasarkan pada usaha mempolitisasi masyarakat yang heterogen dimana pendekatan negara dalam menata persoalan masyarakat sangat bersifat negara sentris,†kata Victorius yang berprofesi sebagai pendeta Gereja Kristen Protestan Di Bali ini.
Menurut Victorius, model sentralisasi kekuasaan dalam bentuk penyamarataan dan penyeragaman yang terjadi di masa lalu merupakan salah satu pola kebijakan negara yang lebih cenderung mengabaikan nilai-nilai kelokalan yang sudah ada di masyarakat. Padahal, imbuhnya, konsepsi-konsepsi kelokalan menjadi dasar dan pertimbangan yang utama bagi negara dalam proses pengambilan keputusan mengenai masalah heterogenitas.
Dalam penelitian Victor, peran negara tetap menjadi penting di dalam menata masyarakat yang heterogen tetapi tidak bersifat dominasi dan intervensif. Sebaliknya, negara seharusnya menjadi fasilitator bagi perjumpaan kemajemukan dan memberikan ruang yang luas bagi terciptanya relasi dan kesalingpengertian di antara komunitas heterogen.
“Progran-program yang berkaitan dengan pentingnya arti memahami makna heterogenitas masyarakat di Indonesia, seharusanya menjadi prioritas di dalam usaha tetap mempertahankan negara sebagai kesatuan,†katanya.
Namun demikian, program tersebut harus serta merta dibebaskan dari persoalan politisasi dengan menempatkan kelokalan sebagai dasar utama dengan tingkat heterogenitas yang tinggi dalam mepertimbangkan kebijakan publik sehingga selalu terjadi perubahan secara signifikan mengenai model-model perumusan kebijakannya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)