Melalui dialektika antara idealisme wartawan dan institusionalisme pers, ungkapan jurnalistik selalu diupayakan wartawan hadir lewat proses pembingkaian, yaitu bagaimana wartawan mengkonstruksi fakta atau peristiwa melalui persepsinya, abstraksinya, dan katagorisasinya. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa media massa cetak pada hakikatnya tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai media informasi, tetapi lebih sebagai ajang perebutan wacana bagi pemerintah dan kelompok-kelompok dalam masyarakat dalam hal menguasai pemberitaan.
Sebagai ajang perebutan wacana, media cetak selalu berpeluang memunculkan problem etis, yang pada umumnya dimuarakan pada etika pers yang dalam konteks ini bertalian dengan masalah kebebasan dan tanggung jawab pers. Bahwa melalui prinsip Filsafat Analitik, bahasa dapat dipahami dalam proses “bentuk-bentuk kehidupan†yang merupakan konteks bagi pemakaian bahasa itu sendiri, ditemukan pula bahwa pemberitaan mengenai Pemilu 2004 yang dilakukan oleh harian Kompas, Media Indonesia dan Rakyat Merdeka (edisi 2004-2006) ternyata lebih diutamakan sebagai perwujudan fungsi pers sebagai wadah pendidikan bagi rakyat dalam berbangsa dan bernegara.
Menurut Drs Wahyu Wibowo MM, pemberitaan mengenai Pemilu 2004 yang disajikan ketiga surat kabar tersebut, ternyata merefleksikan nilai-nilai etika, yang akarnya dapat ditelusuri melalui etika kebijaksanaan. Etika kebijaksanaan berprinsip bahwa individu dalam kehidupannya harus berpatokan pada prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Prinsip ini bertujuan keselarasan individu dengan lingkungan masyarakat dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan lingkungannya.
“Etika kebijakan, sebagaimana yang diyakini masyarakat Jawa merupakan norma bagi perilaku sosial untuk menemukan keserasian, keseimbangan, atau harmoni social dalam rangka menghindari kemungkinan konflik yang terbuka,†ujarnya , Rabu (5/12), di Sekolah Pascarjana UGM.
Dosen Universitas Nasional Jakarta mengatakan hal itu, saat melaksanakan ujian terbuka program doktor UGM dengan mempertahankan desertasi “Kajian Filsafat Analitik Tentang Ungkapan Jurnalistik: Relevansinya Bagi Pengembangan Etika Persâ€.
Melalui etika kebijaksanaan, katanya, Pers Indonesia berkehendak menyadarkan khalayak pembacanya bahwa pers memiliki fungsi vital sebagai piranti pendidikan bagi rakyat dalam hal berbangsa dan bernegara melalui kontrolnya atas praktik-praktik kekuasaan, baik yang dilakukan pemerintah maupun kelompok-kelompok dalam masyarakat.
“Dalam konteks keIndonesiaan dewasa ini, berarti sudah tidak relevan lagi ‘meributkan’ antara pers otoritarian dan pers liberal. Atau meributkan bahwa pers nasional di era reformasi sebagai pers yang semakin vulgar dan liberal. Nilai-nilai etika kebijaksanaan, yang dalam hal ini menjadi cerminan dari nilai-nilai Pancasila, berimplikasi pada koordinat umum etika pers Indonesia,†tandas Wahyu, pria kelahiran Jakarta 8 Maret 1957 yang dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan sekaligus meraih gelar doktor Bidang Ilmu Filsafat UGM.
Ditegaskannya, profesi jurnalistik yang selama ini dianggap sebagai profesi terbuka untuk semua jenis dan tingkat pendidikan haruslah diluruskan. Pasalnya, profesi jurnalistik (dan juga profesi lainnya) sarat dengan dengan nilai-nilai etika, mengingat pendidikan yang melingkupi profesi jurnalistik sangat khas, eksklusif, unik, special, dan tertutup bagi orang lain. “Oleh karenanya kompeten tidaknya seorang wartawan menjadi sah jika yang bersangkutan telah mengikuti semacam penataran bahasa Indonesia dan tata permainan bahasa pers, dasar-dasar etika, nilai-nilai Pancasila sebagai cerminan etika kebijaksanaan dan dasar-dasar marketing modern,†tandas mantan wartawan dan pemimpin redaksi tabloid Paron Jakarta, 1993, Harian ABRi tahun 1999 ini. (Humas UGM)