Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT) Fakultas Hukum UGM mengambil sikap terhadap rencana revisi UU Mahkamah Agung (MA) yang kini tengah berproses. Bahkan PuKAT tegas menolak terhadap beberapa hal yang dinilainya “ganjil”.
Selain berharap dihentikannya pembahasan revisi UU MA, PuKAT meminta agar segera dilakukan pembahasan terhadap revisi UU Komisi Yudisial yang mengakomodir ketentuan untuk mempermudah mekanisme seleksi hakim agung dan memperkuat pengawasan terhadap hakim agung. Selanjutnya, PuKAT menolak upaya perpanjangan usia pensiun hakim agung dan mendesak KPK untuk menyelediki dugaan suap yang mengalir ke anggota panja revisi UU MA.
“Gagasan memperpanjang usia pensiun hakim agung dari 65 tahun menjadi 70 tahun atau bahkan seumur hidup menjadi isu sentral yang meski dikritisi. Karena, selain tidak membawa banyak manfaat, perpanjangan pensiun menjadikan kepercayaan publik menurun. Itu menjadi tidak efektif, karena bukan usia produktif lagi. Semakin panjang usia pensiun, maka semakin rawan untuk disusupi lobi penyelesaian oleh para pihak yang berkepentingan,” papar Zaenal Arifin Mochtar SH LLM, Direktur PuKAT FH UGM, Senin (22/9) di kampus setempat.
Oleh karena itu, kata Zaenal, jika gagasan itu disepakati maka sebanyak 31 dari 48 hakim agung akan selamat. Artinya mereka yang saat ini rata-rata berusia diatas 65 tahun dipastikan memimpin MA lagi.
“Padahal 31 hakim agung inilah yang menyumbangkan model buruk peradilan di negeri ini. Bahkan MA telah menjadi ‘Mahkamah Ajaib’ karena putusan-putusannya, seperti putusan kasus suap DPRD Sumatra Barat dan lain-lain,” tambahnya.
Sehingga tidak mengherankan, jika Political and Economical Risk menempatkan peradilan Indonesia sebagai yang terburuk sepanjang tahun 2008 di Asia. Bahkan dari data menyebutkan, dari 12 negara yang disurvai Indonesia mendapat nomor paling buncit.
“Ini tentu terkait erat dengan kondisi di Mahkamah Agung. keinginan perpanjangan sampai 70 tahun yang dipaksakan ini, menjadikan 31 orang tentu akan memimpin MA lagi, sehingga regenerasi dan perubahan sulit terjadi,” jelasnya.
Zaenal Mochtar menandaskan permasalahan ini bukan mendikotomi tua muda. Bukan pula permasalahan phisical, namun lebih terkait kinerja 48 hakim agung yang berada di Mahkamah Agung.
“Ini karena kinerja yang kurang baik, masak masih mau dipertahankan. Ini bukan the dream team yang musti dipertahankan. Kalau keputusan-keputusannya baik, menarik dan luar biasa, saya kira memperpanjang umur 70 tahun bisa masuk akal,” tandasnya.
Oce Madril SH, staf peneliti PuKAT FH UGM menyayangkan sikap DPR. Bahkan, menurutnya, komisi III DPR dinilai terkesan terburu-buru, tertutup dan seakan melakukan kejar tayang terhadap proses perubahan revisi UU ini.
“Memang tidak hanya kali ini saja, tapi yang kita sesalkan justru pada UU yang menjadi jantung penegakan hukum berkaitan institusi Mahkamah Agung malah dibahas secara tertutup dan minim sekali partisipasi publik dalam pembahasannya,” ujarnya.
Oce merasa prihatin terhadap proses pengawasan hakim. Amanat konstitusi (UUD) yang mestinya memberikan kewenangan pengawasan hakim, dalam revisi UU ini justru memberi kekuatan lebih pada MA untuk melakukan pengawasan.
“Revisi UU MA dicoba ditelikung dengan memberi kewenangan lebih dominan kepada Mahkamah Agung untuk mengawasi para hakim. Dengan sendirinya, ini akan mereduksi kerja-kerja atau sistim pengawasan yang telah dibangun oleh Komisi Yudisial selama ini. Ini pula yang memperlihatkan keberpihakan DPR terhadap MA,” tambahnya.
Sementara itu, di luar pembahasan rencana revisi UU MA, menurut Oce, tercium gelagat adanya aliran dana yang masuk ke para anggota panja. Dugaan itu semakin kuat manakala diketahui pembahasan revisi UU dilakukan secara tertutup, terburu-buru dan mengakomodir gagasan-gagasan kontroversial yang ditolak publik.
“Dugaan suap tidak hanya terjadi kali ini saja, tahun 2003 sudah terjadi. Sebagaimana kesaksian mantan hakim PN Yogyakarta, Sahlan Said, yang mengatakan adanya perintah Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) untuk penggalangan dana dengan tujuan untuk mengubah ketentuan usia pensiun hakim agung, hakim PN dan hakim PT. Namun sayang kasus ini menguap begitu saja,” tandasnya. (Humas UGM)