Yogya, KU
Forum Dekan Fakultas Hukum DIY dan Jawa Tengah mendesak ditundanya pembahasan RUU Mahkamah Agung (MA) oleh DPR dengan alasan, pertama, untuk menghindari ekses yang lebih buruk akibat masih adaya kerancuan dalam proses dan subsntansi RUU MA tersebut.
Kedua, Revisi UU MA sebaiknya dilakukan secara komprehensif bersamaan dilakukannya revisi UU Mahkamah Konstitusi (MA) dan UU Komisi Yudisial (KY). Hal ini perlu dilakukan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi ketiga RUU tersebut, sehingga idealita tentang pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman nantinya bisa dilaksanakan secara optimal.
Ketiga, adanya sinyalemen praktek suap dalam proses revisi UU MA, sehingga mendesak KPK perlu mengambil langkah hukum yang diperlukan untuk memastikan apakah sinyalemen tersebut hanyalah rumor belaka atau memang mempunyai indikasi awal yang cukup untuk bisa ditindaklanjuti dengan proses investigasi.
Hal tersebut disampaikan oleh 26 Dekan Fakultas Hukum yang tergabung Forum Dekan Fakultas Hukum DIY dan Jawa Tengah, dalam diskusi mensikapi kontroversi revisi Undang-Undang Mahkamah Agung, Rabu (24/9) di Ruang Multi Media Fakultas Hukum UGM. Hadir dalam diskusi tersebut, Komisioner Komisi Yudisial Prof Dr Chatamarasyid Ais, Anggota Komisis Hukum Nasional Moch Fajrul Falaakh SH, MA, Msc dan Peneliti Pukat UGM Hasrul Halili SH.
Hasrul Halili mengungkapkan, penolakan pembahasan RUU MA ini sangat penting mengingat pembahasan revisi UU MA di DPR dilakukan dengan mekanisme tertutup, terburu-buru dan nir partisipatif. Dengan kata lain, prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang mestinya merupakan instrumen penting dalam setiap proses pembuatan UU telah diacuhkan dan dilangkahi secara semena-mena oleh DPR.
“Proses yang tertutup, terburu-buru dan tidak partisipatif ini patut dicurigai terutama karena beredarnya rumor tentang praktek suap,â€katanya.
Dari segi substansi, kata Halili, RUU MA tersebut perlu diberi catatatan kritis, terutama perubahan usia pensiun hakim agung dari 65 tahun menjadi 70 tahun. Penambahan usia pensiun tersebut tidak sejalan dengan gagasan tentang urgensi regenerasi hakim agung yang mengemuka akhir-kahir ini bersamaan dengan terpuruknya kinerja dan performa Mahkamah Agung.
“Perpanjangan hakim agung dalam RUU MA harus dianggap kontradiktif terhadap gagasan dan semangat regenerasi hakim agung,†katanya.
Pendapat yanng sama juga disampaikan oleh Chatamarasyid Ais, penambahan usia pensiun menjadi 70 tahun dinilainya tidak sesuai dengan sistem hukum yang berlaku dan tidak sesuai dengan tipikal orang indonesia yang rata-rata hanya memiliki usia produktif berkisar 64,2 tahun.
“Kita jangan hanya melihat usia pensiun seumur hidup yang berlaku di negara Amerika, karena hakim agung di amerika betul betul sangat bersih, dan memiliki tugas yang berbeda, bahkan hanya sedikit mengurusi kasus kasasi, berbeda dengan di Indonesia yang mengurusi 20 ribu tunggakan kasus kasasi,†katanya.
Selain itu, dirinya juga menyinggung tidak adanya sistem evaluasi dan proses regenerasi hakim agung menyebabkan pejabat MA semakin semena-mena menentukan kebijakannya sendiri termasuk memperpanjang masa pensiun hakim agung.
Disahkan dan tidaknya UU MA oleh DPR dalam waktu dekat ini, menurut hemat Fajrul Falakh tidak akan serta merta memperpanjang masa usia pensiun para Hakim Agung yang sedang menjabat sekarang ini. Menurut dosen Fakultas Hukum UGM ini, penetapan UU MA ini nantinya tidak berlaku surut, namun berlaku untuk para hakm agung yang baru.
“Apabila para Hakim Agung yang menjabat sekarang ini memaksa memperpanjang masa pensiunnya, maka ini tentunya sangat kebablasan, sebab mereka dulu diangkat berdasarkan pada peraturan yang lama,†katanya. (HumasUGM/Gusti Grehenson)