Sampai dengan bulan September 2008, pengadaan stok pangan di Perum Bulog mengalami surplus terutama beras mencapai 2,5 juta ton. Begitu juga dengan komoditas jagung juga mengalami surplus sebesar 1,93 juta ton. Sebaliknya hanya produksi kedelai yang mengalami kekurangan karena baru mencapai 0,72 juta ton sedangan estimasi kebutuhan 2,04 juta ton.
Hal tersebut disampaikan oleh Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Ir Sutarto Alimoeso MM, dalam acara Dies Natalis Fakultas Pertanian ke-62, Jumat (27/9), di ruang seminar Harjono Danusastro Fakultas Pertanian UGM.
Peningkatan stok pangan beras dan jagung ini menurut Sutarto disebabkan peningkatan produksi padi seiring dengan meningkatnya produktivitas sebesar 1,30 ku/ha dan faktor peningkatan luas areal panen sekitar 238 ribu hektar dari tahun sebelumnya.
“Sementara peningkatan produksi jagung akibat meningkatnya produktvitas sebesar 2,40 ku/ha dan peningkatan luas area panen sebesar 179 ribu hektar,†ujarnya.
Meskipun demikian, hasil produktivits pangan ini menurut Dirjen, belum menunjukkan indikator dalam hal pemenuhan pangan nasional (kedaulatan pangan) khususnya subsektor tanaman pangan. Karena kedaulatan pangan nasional dikaitkan dengan bebasnya intervensi dari negara asing dalam memenuhi pangan bagi rakyat, sedangkan ketahanan pangan adalah terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Dalam mencapai tujuan tersebut, jelasnya, banyak tantangan yang dihadapi beberapa diantaranya peningkatan jumlah penduduk yang cukup tiggi sekitar 1,3 persen per tahun, ketersediaan lahan yang semakin berkurang akibat alih fungsi lahan (konversi) dan degradasi lahan, ketergantungan yang tinggi atas bahan baku dan produk sarana produksi dari negera lain.
Maka dari itu, Sutarto menekankan petingnya fungsi penelitian dan pengembangan akan menjadi fondasi bagi keberlanjutan kedaulatan pangan. Karena terobosan teknologi dan rekstruktursasi organisasi diperlukan untuk memacu sistem produksi sekaligus mendorong peluang usaha-usaha baru.
“Upaya perbaikan ke depan adalah merancang struktur birokrasi yang komprehensif berbasis sistem agribisis, mengembalikan fungsi penyuluh di bawah kendali fungsi komoditas, mendorong pola-pola kemitraan usaha serta mendorong relasi riset yang lebih baik,†ungkapnya.
Upaya ini sangat penting, imbuh Sutarto, karena perangkap pangan (food trap) dari negara maju dan kapitalis global tidak sekedar penguasaan sarana produksi namun bergerak sangat jauh antara lain mengusai produk-produk pangan serta distribusi, tempat penjualan (bisnis ritel) dan pengakusisian aset-set perusahan nasional yang telah memiliki produk unggulan.
Sementara di sisi lain, budaya pangan masih sangat kental dengan beras, adapun kelompok umbi-umbian kurang diminati masyarakat karena masih dipandang inferior. “Saat ini, semakin banyak yang mengkonsumsi produk berbasis gandum,†katanya.
Budaya pangan yang salah ini menurut Sutarto akan menjadi penghalang bagi kedaulatan pangan di masa mendatang karena setiap tahunnya terindikasi konsumsi terigu berasal gandum semakin meningkat. Dirinya menyebutkan, di tahun 2006 kontribusi terigu sumber pangan karbohidrat sebesar 13,7 persen menjadi 18,9 persen pada tahun 2007.
“Merubah pola makan jutaan penduduk tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi melalui penghargaan atas budaya yang kita miliki dan makanan khas masing-masing daerah, sehingga dapat mengurangi ketergantungan atas produk pangan berbahan gandum,†jelasnya.
Dominannya konsumsi beras dan gandum selama ini, kata Sutarto, sebagai akibat dari kebijakan pangan dilakukan berdasarkan tolak ukur keberhasilan pembangunan pertanian terutama beras serta harga pangan khususnya beras dan gandum sebagai instrumen pengendali inflasi. (Humas UGM/Gusti Grehenson)