Yogya, KU
Pakar ekonomi UGM Dr Sri Adiningsih mengimbau masyarakat dan pasar untuk tidak panik menghadapi ancaman dampak krisis ekonomi Amerika Serikat. Menurutnya, tindakan ini sangat penting untuk menghindari tejadinya krisis ekonomi moneter yang pernah terjadi di tahun 1997 lalu dan depresi ekonomi global di tahun 1930.
Diakui oleh Adiningsih, apabila masyarakat panik terhadap isu krisis ekonomi tersebut, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak krisis sektor finansial yang ditandai instabilitas ekonomi dengan melemahnya nilai tukar rupiah, menurunya harga produk primer dan pengalihan uang ke luar negeri.
“Tentunya terkait pasar keuangan, pembalikan modal akan menyeret rupiah lebih turun lebih tajam lagi, tentunya dalam jangka pendek akan merusak perekonomian karena inflasi kini sudah mencapai 12 persen,†kata Dr Sri Adiningsih kepada wartawan, Selasa (7/10) di kampus UGM.
Supaya tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat dan pasar, tambah Adiningsih, otoritas pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus mengambil kebijakan yang serba cepat dan tepat serta perlu memberi keyakinan untuk pelaku ekonomi.
“Sekarang yang perlu dilakukan adalah meminimal dampak negatif yang muncul, karena potensi pasar yang besar apabila terjadi kepanikan maka berdampa lebih besar sekali, jika itu terjadi, maka rupiah akan melemah dengan tajamnya, akhirnya akan merusak perekonomian nasional,†jelasnya.
Namun demikian, imbuhnya, ditengah kondisi kebijakan fiskal dari BI yang terbatas dan kondisi keuangan pemerintah yang terbatas, membuat langkah otoritas perekonomian juga semakin terbatas.
“Saya khawatir dengan pertumbuhan ekonomi yang belum tertata, dampaknya akan mudah terasa, akibatnya angka kemiskinan dan pengangguran akan meningkat, karenanya harus ada antisisapsi yang mendesak,†ujarnya.
Ketua pusat studi Asi Pasifik ini juga menyarankan pemerintah dan BI lebih focus melakukan stabilitas ekonomi makro dalam menjaga perekonomian nasional. Langkah ini menurutnya sangat penting sebagai langkah jangka pendek untuk mencegah irasionalitas pasar keuangan dan menghidari pengalihan uang ke luar negeri.
“Langkah jangka pendek ini penting untuk menghindari terjadinya kepanikan yang bisa menimbulkan irasionalitas di pasar keuangan dan pengalihan uang ke luar negeri,†imbuhnya.
Selain itu, dirinya juga mengkhawatirkan dampak menurunnya nilai rupiah semakin bersamaan menurunnya indek harga saham gabungan (IHSG). Padahal penurunan IHSG nasional sangat kontras sekali dengan yang terjadi di tingkat internasional. Di amerika, indek harga saham gabungan hanya turun berkisar 3 hingga 4 persen, sementara di Eropa berkisar 3 hingga 5 persen.
“Potensi nilai rupiah melemah cukup besar sekali, karena IHSG turun hingga sepuluh persen, jika ini melemah lagi, tentu akan mempengaruhi perekonomian kita, sebab kita tahu orang indonseia yang berduit akan memindahkan uangnya ke luar negeri†katanya.
Diakui Adiningsih, kondisi pemerintah saat ini sedang menghadapi kerapuhan dalam menjalankan kebijakan ekonominya karena menggunakan dana cadangan devisa yang berlaku untuk jangka pendek, namun apabila terjadi kepanikan instabilitas keuangan, dirinya khawatir akan menimbulkan sumber kerawanan ekonomi yang cukup serius, dan perekonomian nasional akan berada pada posisi yang sulit. (Humas UGM/Gusti Grehenson)