Dalam konteks pengarusutamaan gender, sesuai Inpres No.9 Tahun 2000, masalah kesehatan perempuan semestinya menjadi perhatian yang sama dengan yang diberikan kepada laki-laki melalui program kesehatan yang responsif gender sejak perencanaan hingga monev. Bahkan pemenuhan terhadap hak reproduksi perempuan sesungguhnya perlu menjadi prioritas dari sektor terkait.
Demikian disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan RI Prof Dr Meutia Hatta Swasono pada Kuliah Perdana Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat , Fakultas Kedokteran UGM, Senin (13/10) di ruang Diklat RS Dr Sardjito, Yogyakarta.
Diakuinya, terkait pembangunan gender di Indonesia masih terdapat kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Demikian pula di bidang kesehatan, perempuan dinilai masih tertinggal.
Hal itu terlihat masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) yang mencapai 307/ 100.000. Hak dan status kesehatan reproduksi yang masih kurang diperhatikan.
“Keluarga Berencana (KB) juga masih terfokus pada target perempuan, meskipun KB untuk laki-laki juga mulai disosialisasikan,” ujarnya saat menjadi pembicara kunci dihadapan 356 mahasiswa baru pascasarjana IKM FK UGM.
Dalam makalah bertema “Gender dan Status Kesehatan”, Meutia Hatta mengatakan perempuan terlalu pasrah, nrimo akan statusnya yang dianggap lebih rendah dari status laki-laki. Selain itu, perempuan dinilai takut untuk merubah nasib dan tidak memiliki suara yang menentukan, meski terkait dengan kebutuhannya sekalipun.
Oleh karena itu, perlu untuk melihat Human Development Index/HDI (Indeks Pembangunan Manusia). Bahwa saat ini posisi HDI Indonesia tersebut masih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, terutama yang terkait tentang Angka Kematian Ibu (AKI). Hanya saja, untuk kawasan Asia Tenggara, Human Development Indeks Indonesia masih diatas Vietnam dan RR Lao.
Meutia merasa prihatin akan masalah kesehatan perempuan yang termarjinalkan ini. Ia menuding budaya patriarki menjadi penyebab utama, yang mengganggap status perempuan lebih rendah dari status laki-laki. Berbagai fasilitas untuk laki-laki masih diutamakan dibandingkan fasilitas untuk istri/ibunya.
“Disinilah perhatian dan kepedulian terhadap perempuan amat kurang, termasuk untuk hal-hal yang menyangkut keselamatan nyawanya,” ungkap Menteri.
Dirinya berharap ada upaya melakukan perubahan pola pikir, yaitu dengan kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga, masyarakat, dan dalam kehidupan berbangsa dan berbegara. Dalam pola pikir tersebut, katanya, kesehatan laki-laki dan perempuan sama pentingnya, sehingga perempuan harus dipenuhi hak reproduksi dan kesehatan reproduksinya.
Sementara dr Siswanto Agus Wilopo SU MSc ScD mengungkapkan karena banyaknya masalah kesehatan perempuan, maka kebutuhan pelayanan harus difokuskan pada beberapa masalah pokok bagi perempuan yang dapat diintervensi secara cost-effektive dan effisien. Hal ini tentu akan mencakup Millenium Development Goals (MDGs) dibidang kesehatan, namun juga masalah-masalah kesehatan lain yang menimbulkan beban kesakitan yang dominan.
Beberapa masalah pokok, katanya, antara lain kesehatan maternal, kesehatan seksual, malnutrisi, aborsi, kanker, GBV (Gender Based Violence) dan FGM (Female Genital Mutilation). Malnutrisi adalah faktor yang mendasari buruknya derajat kesehatan perempuan dan kematian.
“Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan ‘sexual abuse’ merupakan pelanggaran hak-hak azasi manusia dan hak-hak reproduksi, yang dapat menimbulkan kesakitan secara fisik dan mental yang akan membekas lama dalam kehidupan perempuan, bahkan dapat menimbulkan gangguan jiwa. Semua masalah tersebut melebihi 1/3 dari masalah kesehatan perempuan secara umum. Mengingat hal tersebut, maka intervensi kesehatan perlu difokuskan pada intervensi yang bersifat essensial,” ungkap Ketua Minat Kesehatan Ibu Anak (KIA) dan Kesehatan Reproduksi ini. (Humas UGM).