Awal pengaruh bentuk pemerintahan ‘pseudoabsolutisme’ terjadi pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I hingga Sultan Hamengku Buwana IV, 1755-1823. Pengaruh bentuk pemerintahan ‘pseudoabsolutisme’ ini menjadi semakin berkembang pada era Sultan Hamengku Buwana V hingga masa Sultan Hamengku Buwana VII, 1832-1921.
“Setelah Sultan Hamengku Buwana VIII, 1921-1939 naik tahta, maka bentuk protokoler kenegaraan dan resepsi seremonial yang melibatkan seni pertunjukkan tari semakin dimodifikasi sedemikian rupa,” ujar Pramutomo, Senin (20/10) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Drs RM Pramutomo MHum, staf pengajar ISI Surakarta Jurusan Tari, mengatakan hal itu saat menempuh ujian terbuka program doktor Ilmu Pengkajian Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa UGM. Promovendus mempertahankan disertasi “Pengaruh Bentuk Pemerintahan “Pseudoabsolutisme” Pasca Perjanjian Giyanti 1755 Terhadap Perkembangan Tari Jawa Gaya Yogyakarta” dengan bertindak selaku promotor Prof Dr RM Soedarsono.
Menurut Pramutomo, pada era Sultan Hamengku Buwana VIII, tingkat kerumitan pada setiap protokoler kenegaraan dan resepsi seremonial semakin menunjukkan citra keagungbinataraan pada status individu Sultan Yogyakarta. Pada gilirannya Sultan Hamengku Buwana VIII menempatkan otoritas estetis seni pertunjukkan sebagai benteng terakhir otoritas kharismatis pada pribadi Sultan Yogyakarta.
“Sementara masa awal pemerintahan Sultan Hamengku Buwana IX, 1940-1945, lebih merupakan era kekuasaan bala tentara Dai Nippon di Yogyakarta. Sampai dengan akhir pendudukan Jepang saat itu, kiranya tradisi seremonial dan protokoler masih berlaku sebagaimana pendahulunya,” jelas penulis buku Anthropologi Sebagai Basis Disiplin Etnokorelogi tahun 2005 ini.
Disertasi Pramutomo merupakan eksplorasi terhadap pengaruh bentuk pemerintahan ‘pseudoabsolutisme’ pasca Perjanjian Giyanti 1755 terhadap perkembangan genre dan kualitas artistik tari Jawa gaya Yogyakarta. Dalam kajiannya, eksplorasi ini konsentrasi awal ditujukan pada berbagai aspek politis yang mempengaruhi perkembangan tari gaya Yogyakarta itu sendiri.
Oleh karena itu, pria yang lahir di tahun 1968 dari keluarga seniman ini berharap disertasinya bermanfaat serta mampu menghadirkan studi kontekstual tentang perkembangan gaya dan genre tari gaya Yogyakarta. Selain itu, mampu memberikan pemahaman secara komprehensif tentang prinsip-prinsip ‘pseudoabsolutisme’ yang menciptakan pola perkembangan tari gaya Yogyakarta.
“Mudah-mudahan disertasi ini mempertegas kajian seni tari sebagai disiplin etnokoreologi sebagaimana yang direkomendasikan oleh RM Soedarsono selaku promotor,” tandas Pramutomo. (Humas UGM)