Dalam pandangan umum, sesuatu yang menimbulkan stres atau ketidaknyamanan biasanya akan dijauhi atau ditolak individu, tetapi dalam masalah kontrasepsi dengan berbagai efek samping, perempuan tetap saja menggunakannya. Survey awal memperlihatkan bahwa 73% perempuan telah berkontrasepsi dengan efek samping lebih dari lima tahun, dan 65% pernah memikirkan untuk berhenti namun tidak melakukannya.
“Sementara 84% lainnya mengkhawatirkan terjadinya perluasan efek samping. Melihat kenyataan semacam ini, sesungguhnya yang menimbulkan pertanyaan, kekuatan psikologis apa yang dimiliki perempuan hingga ia bertahan,†papar dr Inge Wattimena MSi Psi, Rabu (22/10) di Auditorium Fakultas Psikologi UGM.
Staf medis Rumah sakit bersalin St Melania, Surabaya menyatakan hal itu, saat menempuh ujian terbuka program doktor bidang ilmu psikologi UGM. Promovenda mempertahankan desertasi “Peran Efikasi-Diri Dan Kebajikan Terhadap Kesejahteraan Pada Perempuan Pengguna Kontrasepsi Dengan Mediasi Stres Akibat Efek Samping†dengan bertindak selaku promotor Prof JE Prawitasari PhD dan ko-promotor Prof Dr Faturochman MA serta Prof Esther Kuntjara PhD.
Menyitir pendapat Seligman (2000), kata Inge, perempuan memiliki modal psikologis positif untuk bertahan. Yaitu berupa kekuatan (human strenghs) dan kebajikan (virtue) yang membentuk manusia kuat dan produktif sehingga lebih sejahtera.
“Salah satu kekuatan adalah efikasi-diri, suatu modal pemberdayaan (empowerment) yang merupakan kesadaran atas kemampuan diri untuk melaksanakan dan mempertahankan apa yang diikhtiarkan serta yakin untuk berhasil,†ungkapnya.
Dikatakannya, efek samping kontrasepsi yang harus dialami perempuan, disadari atau tidak disadari risikonya, dihadapi dengan keberanian untuk berkorban. Mereka seolah-olah menempatkan diri sebagai tameng atau benteng pertahanan keluarga.
“Tindakan ini merupakan hasil keputusan diri dalam konteks minus malum, yaitu keterpaksaan untuk memilih yang terbaik diantara pilihan-pilihan yang jelek,†jelas ibu satu anak, Neal Lumantarna dari pernikahannya dengan Prof Benjamin Lumantarna.
Pilihan-pilihan itu adalah tidak berkontrasepsi dengan risiko kehamilan yang tidak dikehendaki, atau menggunakan kontrasepsi alami/ kondom, yang ditolak suami atau istri dengan alasan kurang yakin keamanan dan kepuasan. Selain itu bisa pula dengan menghindari hubungan seksual, hal mana sukar terealisir di dalam perkawinan dan mengganggu relasi suami istri.
“Bisa pula berkontrasepsi dengan penderitaan akibat efek samping, tetapi tujuannya tercapai. Dan pilihan perempuan adalah untuk tetap berkontrasepsi dengan efek samping,†tandas Inge, perempuan kelahiran Surabaya 3 September 1945 ini.
Karenanya diakhir desertasi, selain diajukan saran-saran secara teknis, metodologis dan teoritis, secara spesifik disarankan kepada para pakar pengembangan sarana kontrasepsi maupun pengambil kebijakan agar mencari jalan alternatif kontrasepsi dengan efek samping yang minimal, serta juga memperhatikan keselamatan dan posisi perempuan agar tidak tercedera atau terpojokkan. (Humas UGM).