Pendidikan di Sekolah Dasar (SD) merupakan fondasi pendidikan bagi tingkat selanjutnya. Terjadinya hambatan emosi dan perilaku siswa SD dapat berlanjut sampai masa dewasa. Oleh karena itu, hambatan emosi dan perilaku siswa SD perlu diatasi sejak dini, agar pendidikan dapat berlangsung secara efektif dan efisien, serta guna mensukseskan wajib belajar sembilan tahun.
“Hambatan emosi dan perilaku meliputi hambatan internalisasi dan eksternalisasi. Hambatan internalisasi adalah hambatan emosi yang diarahkan pada diri sendiri, seperti mengalami kecemasan dan depresi, sedangkan hambatan ekternalisasi adalah hambatan emosi yang termanifestasikan dalam bentuk perilaku pada orang lain atau lingkungan, seperti suka berteriak pada orang lain dan melawan orang lain,” ujar Dra Murtini SU dalam ujiannya, Kamis (23/10) di Auditorium Fakultas Psikologi UGM.
Dosen Fakultas psikologi UGM ini mempertahankan desertasi “Penyesuaian Diri Siswa Sekolah dasar Ditinjau dari Faktor Eksternal dan Internal”. Promovenda yang lahir di Bantul 29 November 1949 ini, dalam ujiannya didampingi promotor Prof Dr Masrun MA dan ko-promotor Prof Dr Sri Mulyani Martaniah MA serta Sugiyanto PhD.
Data Depdikbud tahun 1997 menyebutkan, penelitian dengan siswa SDN kelas satu hingga kelas enam di beberapa propinsi di Indonesia menemukan sebanyak 21,80% siswa mengalami hambatan emosi dan perilaku. Sementara, penelitian di Yogyakarta dengan subjek kelas lima dari dua SDN disebutkan 24,24% siswa mengalami hambatan yang sama.
“Sedangkan penelitian dengan subjek siswa kelas enam dari delapan SDN di Yogyakarta, didapat angka 21,08 persen siswa mempunyai hambatan emosi dan perilaku,” papar Murtini.
Ibu dua anak, Prisa Prasasti dan Silvia Nurga Aftani dari perkawinan dengan Mashudi Sunaryo ini lebih lanjut mengatakan, penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal mempengaruhi penyesuaian diri secara langsung dan tidak langsung dengan mediator faktor internal, pusat kendali, kemandirian dan harga diri.
Faktor eksternal diantaranya ibu dan guru. Menurut Murtini, peran ibu dipandang lebih penting daripada perah ayah sejak awal hingga epanjang kehidupan siswa.
“Hubungan Ibu denga siswa ditunjukkan dalam bentuk pola asuh ibu. Ibu dengan pola asuh suportif, menyebabkan siswa mempunyai ketrampilan bergaul dengan teman sebaya, mempertahankan hubungan hubungan itu secara bertanggung jawab, mempunyai kepercayaan diri, mempunyai kontrol diri dan memiliki ketrampilan,” ungkapnya.
Murtini menilai guru dikelas memiliki fungsi sebagai orangtua kedua dan merupakan figur identifikasi bagi siswa, dan perilaku guru adalah teladan bagi perilaku para siswa. Guru membantu siswa untuk mengubah perilaku, mengembangkan potensi dan meningkatkan kompetensi.
“Perlakuan suportif guru terhadap siswa ini memiliki kaitan dengan penyesuaian diri siswa di kelas, sehingga siswa dapat berprestasi tinggi,” ungkapnya lagi. (Humas UGM)