Rektor UGM Prof Ir Sudjarwadi MEng PhD meresmikan pencanangan Desa Energi Mandiri di Dusun Banyakan 2, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Bantul, Minggu (26/10). Peresmian ini ditandai dengan pemukulan gong yang dilakukan oleh Rektor disaksikan oleh Wakil Bupati Bantul Drs. H. Sumarno dan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN PPM UGM Dr Ambar Pertiwingrum
Dalam pidatonya, Rektor menegaskan bahwa pencanangan Desa Sitimulyo sebagai desa energi mandiri berdasarkan atas usaha dari pihak UGM dalam membantu masyarakat memanfaatkan potensi yang di daerahnya. Salah satunya yang dimanfaatkan oleh warga Piyungan yakni memanfaatkan limbah kotoran ternak sapi yang dikonversi menjadi biogas.
“Universitas Gadjah Mada dengan pengetahuan yang dimilikinya dapat bisa membagikan dan menyumbangkannya ke masyarakat agar bisa lebih bermanfaat,†kata Sudjarwadi.
Lebih lanjut dikatakan oleh Rektor, pemanfaatan energi biogas di Piyungan dalam rangka mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat dunia sekarang ini di bidang pangan, air dan energi.
Namun demikian, kata Sudjarwadi, permasalahan di bidang energi ini tidak akan serta merta memberikan dampak nilai ekonomi apabila tidak dimulai dari kesadaran masyarakat untuk berani mencoba memanfaatkan potensi daerahnya.
“Semua yang dilakukan tidak sekaligus akan berhasil, meski sudah memiliki pengetahuan dan mental yang kuat, dan karena semua itu hanya bisa dilakukan oleh masyarakat Piyungan sendiri,†imbuhnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Bupati Bantul Drs Sumarno, usaha yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Banyakan ini sebagai salah satu langkah kecil dari potensi kearifan lokal dalam menghadapi tantangan yang dihadapi dunia di bidang energi, pangan, air dan finansial global.
Sumarno dalam kesempatan tersebut, juga memberikan apresiasi kerja keras, semangat serta partisipasi dari masyarakat Banyakan sebagai ciri masyarakat Bantul untuk bangkit kembali dari keterpurukan ekonomi pasca gempa dua tahun yang lalu.
Dr Ambar Pertiwiningrum, peneliti biogas dari Fakultas Peternakan UGM kepada wartawan mengatakan, program konversi limbah ternak menjadi biogas merupakan hasil dari penelitian yang melibatkan mahasiswa program KKN PPM UGM selama tiga periode, yang dimulai sejak awal tahun 2007 lalu.
Menurut Ambar, Piyungan memiliki potensi pertanian dan peternakan, namun sejak terkena dampak gempa bumi 2006 lalu menyebabkan perekonomian masyarakat menjadi menurun, sehingga banyak masyarakat yang menjual ternaknya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari menyususl adanya kenaikan harga kebutuhan pokok yang disusul oleh kenaikan harga gas dan kelangkaan minyak tanah yang membuat semakin terpuruknya perekonomian masyarakat.
“Piyungan sebagai daerah pertanian dan kawasan industri perlu dipertahankan keberadaannya,†imbuhnya.
Kondisi ini menurut Ambar yang mendorong dirinya bersama tim dari fakultas Peternakan UGM untuk melakukan penelitian dan terobosan dalam bidang peternakan dan energi. Menurutnya, peternakan dapat diintegrasikan dengan pertanian, dimana limbah peternakan jika diolah dengan baik dapat menghasilkan gas bio serta limba dari pengolahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik bahkan saat ini sedang diteliti untuk dikembangkan menjadi makanan ternak.
“Gas bio hasil sampingan dari limbah ternak tersebut dimanfaatkan sebagai energi alternatif, namun dalam penelitian kami di Piyungan, sebelumnya kami berusaha mengubah pola pikir masyarakat agar limbah peternakan dapat diolah dan bisa dimanfaatkan,†jelasnya.
Dalam pengerjaan penelitian tersebut, kata dosen Fakultas Peternakan UGM ini, pihaknya melakukan terobosan dalam penggunaan digester biogas skala kecil untuk satu rumah tangga yang sangat mudah dan murah dalam perawatannya.
Diakui Siti, di desa Sitimulyo pada awalnya terpasang 23 unit bio digester skala rumah tangga. Dan pada perkembanganan selanjutnya terdesiminasi di Kecamatan Sanden, Kasihan, Jetis , Sewon Bantul dan di daerah Klaten
Seperti diketahui, jumlah sapi oleh peternak di kecamatan Piyungan sebanyak 3423 ekor sapi. Setiap peternak atau satu rumah tangga memiliki satu hingga tiga ekor sapi. Sehingga apabila dimanfaatkan menjadi bio gas tersebut bisa digunakan selama satu hingga tiga jam tiap harinya. Karena, kata Ambar, setiap satu ekor sapi menghasilkan 20 hingga 25 kilo kotoran tiap harinya. Sementara dalam proses pembuatan fermentasi kotoran sapi menjadi biogas mesti dicampur dengan air dengan perbandingan dua kali jumlah kotoran.
Hal tersebut diamini oleh Slamet (36), peternak di daerah Piyungan. Setiap hari dirinya mengumpulan kotoran sapi di kandang sebelh rumahnya yang dimasukkan ke dalam sebuah ember. Setiap satu ember kotoran sapi dicampur dua ember air yang dimasukkan ke dalam pipa penampung (bio digaster).
“Karena diberitahu oleh bu ambar, perbandingan kotoran sapi dengan air, satu banding dua, jadi saya ambil mudahnya saja, saya gunakan ember saja, setiap satu ember, saya tambah dengan dua ember air,†ungkapnya.
Menurut Ambar, waktu fermentasi kotoran sapi di dalam pipa penampung selama dua belas hari untuk menghasilkan gas metan (CH4). Namun hanya 50-60 persen gas metan yang dihasilkan, sementara gas sisanya adalah karbondioksida dan gas lainnya.
“Untuk mengatasi hal ini, kita gunakan zeolit dalam membantu proses fermentasi tersebut, karena zeolit membantu proses pemurnian gas metan, sehingga biogas yang dihasilkan betul murni gas metan,†ungkapnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)