Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM mendesak DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Hal ini sangat diperlukan mengingat keberadaan pengadilan tipikor berdasarkan atas keputusan Mahkamah Konstitusi, apabila hingga desember 2009 belum ada UU Tipikor maka Pengadilan Tipikor akan hilang dengan sendirinya. Padahal, keberadaan pengadilan tipikor cukup berperan dalam mengusut berbagai kasus korupsi, meski kasus korupsi di daerah pun dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan.
Demikian hasil rekomendasi dari Laporan Korupsi Triwulan III 2008 yang disampikan oleh Direktur Pukat UGM, Zainal Arifin Mochtar, SH LLM, Kamis (6/11) di Kampus UGM. Menurut Zainal, RUU Pengadilan Tipikor mendesak untuk segera disahkan oleh pansus di DPR karena hingga akhir tahun 2008 ini, pembahasan RUU ini belum masuk agenda pembahasan anggota DPR.
“Sebagaimana aturan dari MK, sampai Desember 2009 RUU Pengadilan Tipikor belum selesai maka secara otomatis keberadaannya pengadilan yang ditakuti para koruptor ini akan hilang dengan sendirinya,†katanya.
Zainal menambahkan, draft RUU Tipikor versi pemerintah telah masuk ke DPR, namun belum menjadi prioritas pembahasan oleh anggota DPR. Sehingga Zainal, khawatir apabila draft ini terlalu lama disimpan di DPR maka akan terjadi pembajakan substansi dari isi draft tersebut.
“Saya khawatir apabila terlalu lama di DPR akan terjadi pembajakan isi dari substansi draft RUU ini,†jelasnya.
Di samping itu, Zainal juga sempat menyinggung akan pentingya keberadaan KPK di daerah apabila ada Pengadilan tipikor di daerah mengingat dengan semakin maraknya kasus korupsi di daerah yang belum bisa terpantau oleh KPK pusat. Meskipun demikian, dirinya masih ragu apakah KPK daerah akan mampu bekerja sebagaimana KPK yang dikenal sepaka terjangnya oleh masyarakat selama ini.
“Saya masih sangsi, apabila ada KPK daerah, menjadikan KPK terdesakralisasi akibat para pengurusnya bermain mata dengan para pelaku korupsi di daerah, seperti yang terjadi dengan lembaga kejaksaan agung,†imbuhnya.
Pembentukan KPK di daerah ini menurut pandangan Zainal, tidak bertentangan dengan Undang-Undang KPK yang menyebutkan membolehkan KPK mendirikan cabangnya di daerah.
Sementara dalam laporan korupsi dalam triwulan ke III tahun 2008, Pukat UGM berhasil memantau 43 kasus korupsi. Tercatat pelaku utama korupsi masih didominasi pejabat pemerintah daerah sebanyak 30 orang, anggota DPRD 28 orang dan swasta 10 orang. Adapun Bupati sebanyak 8 orang, dan mantan pejabat pemerintah daerah 3 orang.
Sedangkan sisi modus korupsi, penyalahgunaan anggaran tercatat sebagai yang tertinggi, yakni sebanyak 32 kasus. Diikuti mosus mark up sebanyak 6 kasus, suap 3 kasus, penyalahagunaan izin dan rekayasa pemenang tender masing-masing 1 kasus.
“Temuan modus penyalahgunaan anggaran ini merupakan hal yang baru karena pada kurun waktu sebelumnya, korupsi di daerah paling sering dilakukan dengan cara mark up,†jelasnya.
Adapaun tingkat kerugian negara akibat korupsi di daerah mencapai ratusan milyar, dari tingkat kerugian negara ini, kasus korupsi yang diproses masih berkutat pada kisaran korupsi sekitar 10 hingga 100 milyar. Sementara kerugian negara yang lebih besar di atas 100 milyar, baru ditemukan satu kasus.
Diakui oleh Zainal, proses hukum kasus korupsi di daerah belum menunjukkan hasil yang maksimal. Selain terkesan terbelit-belit, juga berjalan lambat dan hampir sebagian besar masih dalam tahap penyelidikan. (Humas UGM/Gusti Grehenson