Yogya, KU
Pemerhati ekonomi kerakyatan UGM, Drs Dumairy MA, menyesalkan sikap pemerintah yang selalu ingin menenteramkan psiko-ekonomi rakyat dengan mengumumkan indikator-indikator ekonomi makro semata. Padahal dampak dari krisis global kini semakin terasa dengan semakin merosotnya nilai tukar rupiah yang sudah melampaui angka psikologis diatas sepuluh ribu rupiah.
“Angka ini jauh telah menembus angka psikologis Rp 10.000, Padahal angka ini selama sepuluh tahun terakhir ini dihindari oleh otoritas moneter RI, demi proteksi industri serta demi kredibilitas kabinet dan kepemimpinana nasional,†ujarnya, Kamis (6/11) di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan.
Pengurus Yayasan Mubyarto ini menyarankan kepada pemerintah untuk mengurangi kebiasaan menenteramkan psiko-ekonomi rakyat dengan memamerkan indikator-indikator makro ekonomi semata. Sebaliknya dirinya mengusulkan kepada pemerintah untuk segera mengurangi ketergantungan kepada ekonomi Amerika Serikat, dengan mengembangkan ekonomi mikro di dalam negeri.
Meskipun diakui oleh Dumairy, posisi Amerika merupakan pasar tujuan ekspor utama indonesia, apalagi investasi langsung AS di Indonesia khsusunya di sektor pertambangan sangatlah besar. Selain itu, Amerika juga merupakan sumber dana investasi tak langsung karena kontribusi AS dalam lembaga keuangan internasional masih sangat dominan.
Pemerintah, menurutnya mesti fokus untuk merangsang aktivitas perekonomian dalam negeri dan mengendorkan orientasi ke luar negeri, dan kembali ke fitrah sebagai negara agraris dan bertumpu pada keandalan bisnis pada usah kecil dan menengah.
“Pemerintah bisa melakukannya dengan diversifikasi pasar dan tujuan ekspor, diversifikasi investor langsung asing, diversifikasi sumber dana investasi tak langsung dan mengurangi ketergantungan pada lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, IDRB dan World Bank,†katanya.
Sementara pakar eknomi pertanian UGM Prof Dr Ir Mochammad Maksum, menilai upaya proteksi nilai rupiah yang dilakukan oleh otoritas moneter, BI dan pemerintah, bukan hanya akan menguras devisa negara tetapi juga mestinya harus mempertimbangkan implikasinya bagi sektor pangan, pertanian dan pedesaan yang faktor produksinya adalah komponen lokal.
“Kemerosotan nilai rupiah membawa berkah bagi sektor pertanian, pangan dan pedesaan dan secara langsung menjadikan impor makin mahal karena mahalnya dollar, bila produk impor makin mahal maka produk lokal makin berdaya saing,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)