Yogya, KU
Revolusi yang terjadi dalam sebuah paradigma antropologi budaya atau ilmu sosial-budaya tidak hanya menghasilkan sebuah paradigma baru yang melengkapi paradigma lama, tetapi juga melahirkan satu atau beberapa sub paradigma baru dalam paradigma lama. Dalam perkembangan pemikiran antropologi budaya, revolusi paradigma dianggap mencerminkan perkembangan pemikiran dalam ilmu sosial budaya pada umumnya. Padahal, revolusi keilmuan dalam ilmu sosial-budaya bukanlah pergantian paradigma karena paradigma yang lama tidak ditinggalkan setelah paradigma baru lahir yang mengungkap aspek-aspek tertentu dari kenyataan yang sebelumnya terabaikan.
Hal tersebut disampaikan oleh Prof Dr Heddy Shri Ahimsa Putra MA, Mphil, dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Senin (10/11) di ruang balai senat UGM.
Dalam pidatonya yang berjudul “Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budayaâ€, Heddy Ahimsa menegaskan, munculnya paradigma baru sebenarnya tidak mematikan paradigma lama, bahkan memungkinkan para ilmuwan sosial budaya memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai gejala yang mereka pelajari.
“Revolusi dalam ilmu sosial budaya bersifat memperluas cakrawala pengetahuan, sehingga memungkinkan ilmuwan memunculkan paradigma baru,†katanya.
Dalam ilmu sosial budaya, menurut pria kelahiran Yogyakarta, 28 Mei 1954 ini, garis perbedaan paradigma satu dengan yang lain tidak tegas karena selalu ada kesamaan-kesamaan pada satu atau beberapa unsurnya. Kesamaan ini bisa terletak pada asumsi dasar, pada model, atau pada metode-metodenya.
Sementara dalam antropologi budaya telah terjadi beberapa revolusi keilmuan, sehingga dalam disiplin ini terdapat banyak paradigma. Antropologi budaya kini secara paradigmatis bersifat majemuk karena antropologi budaya adalah a paradigmatically plural discipline.
Implikasi dari beberapa pandangan yang bersifat majemuk ini menurut suami Nany Phir Yani, menjadikan perspektif paradigma yang diikuti para ilmuwan tidak akan lagi berpikir terkotak-kotak berdasarkan disiplin atau obyek studi.
“Ini memungkinkan pengembangan ilmu pengetahuan yang lebih efektif dan efisien, dan dialog keilmuan di kalangan ilmuwan sosial-budaya akan lebih mudah terjalin,†tambah bapak tiga anak ini.
Dengan demikian, para ilmuwan dari disiplin yang berbeda dapat melakukan penelitian bersama lewat paradigma tertentu sehingga akan terjadi proses pengembangan dan pembangunan paradigma baru yang lebih cepat. Dengan kesadaran yang kokoh tentang paradigma, kata Ahimsa, revolusi ilmu pengetahuan akan dapat dilakukan dengan lebih terencana, lebih mudah dan lebih cepat. (Humas UGM/Gusti Grehenson)