Satu lagi mahasiswa UGM, Fakhrudin Al Rozi, kembali mengukir prestasi di tingkat nasional dalam kompetisi karya tulis lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh Direktorat Akademik Ditjen Dikti di Surabaya, 31 Oktober-2 November 2008. Mahasiswa Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian ini berhasil menjadi juara pertama, menyisihkan 290 karya tulis peserta yang berasal dari berbagai PTN dan PTS.
Pria kelahiran Bantul, 10 Januari 1985 ini dalam karya tulisnya yang berjudul â€Penerapan Budidaya Udang Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan melalui Aplikasi Bakteri Antagonis untuk Biokontrol Vibriosis Udang Windu†menawarkan solusi penggunaan bakteri yang terdapat di alam seperti Lactobacillus spp, Bacillus spp dan Staphylococcus spp untuk menghambat pertumbuh bakteri vibriosis yang bersifat merugikan petani dimana membunuh 90 persen populasi larva udang windu yang berumur di bawah satu bulan.
â€Pertumbuhan bakteri vibriosis ini sangat merugikan petani tambak udang windu bahkan mengakibatkan gagal panen. Bakteri Vibrio ini melakukan serangan secara ganas dan cepat sehingga dapat menimbulkan kematian total serta menyerang udang di pembenihan maupun pembesaran,†katanya.
Serangan bakteri vibriosis ini diakui Rozi, merupakan masalah utama yang dihadapi petambak udang windu pada awal tahun 1990 hingga sekarang. Penyakit ini di kalangan petani tambak lebih dikenal dengan nama serangan penyakit udang menyala, karena udang yang sudah terserang pada lingkungan gelap akan tampak bercahaya.
Sebelumnya, berbagai penelitian sudah dilakukan untuk mendapatkan suatu metode pencegahan dan penanggulangan penyakit udang windu, antara lain penggunaan obat-obatan dan antibiotik. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia kini tidak efektif lagi karena tidak memberikan hasil yang memuaskan, yaitu pada dosis tertentu justru berdampak negatif yaitu meningkatkan resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik.
Menurut Rozi, penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif lagi karena tidak memberikan hasil yang memuaskan, yaitu pada dosis tertentu justru berdampak negatif karena meningkatkan resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik. Sementara di lain pihak antibiotik bersifat persisten di alam dan bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia.
â€Di negara uni Eropa sudah menerapkan zero percent untuk penggunaan antibiotik pada udang windu,†tambahnya.
Diakui oleh anak ketiga dari empat bersaudara ini, udang windu merupakan primadona komoditas perikanan yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional. Sehingga usaha budidaya udang windu berkembang cepat karena selain merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang potensial untuk ekspor, udang windu juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat.
â€Adanya kecenderungan perubahan pola konsumsi dunia dari daging ke produk ikan dan udang juga semakin memperluas peluang pasar. Hal ini sesuai dengan kebijakan pembangunan perikanan yang mengupayakan peningkatan ekspor,†jelasnya.
Diakui Rozi, pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen biokontrol akan semakin penting dari segi ekosistem akuakultur, mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya ramah lingkungan sekaligus menerapkan sistem biosecurity untuk mengurangi risiko kontaminasi penyakit pada produksi budidaya udang.
Adapun aplikasi bakteri antagonis dalam budidaya udang windu dapat diterapkan dalam bentuk pembuatan pakan obat dengan menambah probiotik dari bakteri antagonis. Sementara pada tahap pemeliharaan, dapat dilakukan secara langsung melalui pemberian bakteri antagonis dengan dosis tertentu. (Humas UGM/Gusti Grehenson)