Tim peneliti Fakultas Teknologi Pertanian UGM, bersama dengan ratusan petani dari empat kabupaten di DIY mengembangakan teknik budidaya pertanian yang mampu menawarkan hemat air, benih dan pupuk dengan budidaya padi model System of Rice Intensification (SRI).
“Metode budidaya padi metode SRI ini merupakan terobosan budidaya padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara,“ kata Dr Sigit Supadmo MEng, kepada wartawan, Kamis (13/11) di Ruang 385 Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM. Didampingi oleh dua peneliti lainnya, Dr Dajafar Shiddieq, Prof Sahid Susanto dan empat orang perwakilan petani dari empat Kabupaten di DIY. Sigit menjelaskan, dibanding dengan budidaya padi dengan pola konvensional, budidaya padi metode SRI mampu menghemat benih hingga sepertiganya. Untuk satu hektar lahan, hanya memerlukan 10 kg benih dari yang biasanya mencapai 30-50 kg benih dalam sistem konvensional.
Sementara dalam hal penggunaan pupuk diakui Sigit, bisa menghemat hingga 50 persen, sedangkan dalam hal penggunaan air membutuhkan ketinggian genangan air yang jauh lebih rendah.
“Genangan air yang diperlukan dalam SRI bisa dikurangi mencapai 10 – 15 cm lebih rendah, bahkan bisa hanya genangan air dengan ketinggian 2 atau 1 cm,†katanya.
Sigit menambahkan pengelolaan padi dengan metode SRI ini diakuinya bertujuan untuk mencapai produksi yang tinggi melalui peningkatan jumlah anakan dan anakan produktif, peningkatan panjang malai dan penambahan jumlah benih padi per malai, peningkatan berat benih padi, serta memperbaiki perkembangan akar tanaman sehingga sehat pertumbuhannya dan bisa meningkat produksinya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, imbuhnya, diperlukan persyaratan diantaranya tanam bibit muda yang berumur kurang dari 15 hari setelah semai. Lalu menanam bibit dengan satu lubang satu bibit dimana jarak tanam lebih lebar sekitar 25 cm, melakukan pindah tanam segera mungkin dan akar tanaman dijaga agar tidak putus, ditanamn dangkal antara satu hingga 2 cm dan akar tidak ditekuk, lalau pemberian genagnan air serta penyiangan dilakukan seawal mungkin.
Pandangan yang sama juga disampaikan Dr Djafar Shiddieq, metode SRI rata-rata mengutamakan penggunaan pupuk organik (kompos) sekitar 50 persen dari penggunaan pupuk untuk menyediakan pasok unsur hara bagi tanaman, sehingga mengaplikasikannya dalam skala waktu yang panjang akan memperbaiki kondisi tanah baik sifat fisik maupun kimia tanah. Selain pupuk kompos, sebagian petani dengan metode SRI kini sudah memanfaatkan pestisida nabati.
Untuk hasil produksi per hektar dari metode ini menurut Djafar Shiddieq cukup bervariasi di setiap kabupaten. Berdasarkan hasil penelitian untuk penggunaan metode SRI dengan penggunaan pupuk organik dan non organik dengan jumlah yang sama, maka akan menghasilkan produksi sekitar 7,9 ton per hektar. Jumlah ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan sitem konvensional yang rata-rata menghasilkan produksi padi sekitar 6,2 ton per hekatr.
Lebih lanjut dijelaskan Djafar, metode SRI ini bisa digunakan oleh semua jenis varietas padi namun di kalangan petani di Yogyakarta sendiri lebih bervariasi menggunakan jenis varietas padi seperti padi hibrida, C4, IR64 dan sebagainya.
Menurut pandangan Djafar, mengimplementasikan SRI dalam skala luas bukanlah tugas yang gampang karena metode budidaya SRI yang berbeda dengan budidaya padi sistem konvensional sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa diadopsi petani. Meski demikian, dirinya optimis jika metode ini sudah berkembang luas dan diikuti oleh para petani maka bukan tidak mungkin lagi ketahanan pangan yang digapai sebaliknya kedaulatan pangan juga tercapai.
Sigit menjelaskan, di daerah Yogyakarta, budidaya padi metode SRI sudah diperkenalkan kepada masyarakat tani sejak tahun 2005. Sampai saat ini pengembangan budidaya padi sudah menyebar di empat kabupaten di DIY, meliputi kabupataen Sleman, Bantul, Kulonprogo dan Gunung Kidul baik yang dikembangakan oleh instansi terkait maupun oleh petani secara mandiri.
Nuryanto (51), petani asal Desa Ngestiharjo, Kulon Progo, mengakui jika model SRI memberikan hasil produksi yang cukup baik sebagai salah satu budidaya padi yang hemat air, benih dan pupuk. Menurut pengalamannya selama menjalankan metode SRI sejak tahun 2003, metode SRI dinilai telah menjaga kesuburan tanah karena adanya pengurangan penggunaan pupuk anorganik (kimia).
Sementara dalam penggunaan jumlah tenaga kerja diakui Subardi, petani asal Sleman, sistem budidaya SRI ini bisa mengurangi jumlah tenaga kerja hingga sepertiganya. “Sebelumnya menanam benih kita membutuhkan tenaga kerja untuk menanam benih sekitar 25 kilo benih per hektar, namun dengan SRI hanya menanam 7,5 -10 kilo per hektar,†imbuhnya.
Menurut Subardi, pengurangan tenaga kerja terutama dalam membantu proses penanaman benih ditengah kondisi ekonomi petani yang kurang mendukung, sebab membantu petani dalam menghemat pengeluaran untuk membayar tenaga kerja. (Humas UGM/Gusti Grehenson)