Bentuk dan fungsi kursi di keraton, Gedung Agung, dan Puro Pakualaman Yogyakarta tidak hanya berfungsi sebagai sarana duduk, tetapi memiliki fungsi-fungsi simbolik yang penuh makna, disakralkan dan dimitoskan untuk tujuan memperkokoh legitimasi kekuasaan bagi yang duduk di atasnya.
“Kursi-kursi yang pernah digunakan oleh para penguasa itu memberikan indikasi bahwa para penguasa telah berhasil menempatkan dirinya sebagai wong agung yang harus dihormati wong cilik,†ungkap Drs Eddy Supriyatna, MHum, dalam ujian promosi Doktor, Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (17/11).
Dalam ringkasan disertasinya yang berjudul “Kursi di Keraton, Gedung Agung dan Pura Pakualaman Yogyakarta Abad ke-18 sampai ke-20; Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna Simboliknya†Eddy Supriyatna menyebutkan keberadaan wujud kursi tersebut sebagai artefak, produk sosial, dan sebagai warisan budaya merupakan salah satu potensi bangsa yang patut dilestarikan.
Sementara dalam konteks bidang ilmu seni rupa, bentuk kursi di tiga istana itu dipengaruhi oleh gaya kursi dari Eropa yang pernah digunakan oleh para penguasa di Eropa, khususnya Perancis dan Inggris. Dalam penelitian Eddy, gaya kursi yang diadopsi dari perancis adalah gaya Louis XIV (Barok) pada abad ke-18, gaya Louis XV (Rokok) pada abad ke-19, dan gaya Louis XVI (Neo-klasik) pada abad ke-20. Sementara gaya kursi dari Inggris yang diadopsi cenderung menggunakan gaya Georgian, gaya Queen Anne dan gaya Victorian,
“Tampaknya, gaya kursi yang diadopsi itu sebagai implikasi dari proses difusi dan akulturasi,†jelas dosen Fakultas Seni dan Desain, Universitas Taruma Negara, Jakarta.
Bentuk dan fungsi kursi di Keraton, Gedung Agung, dan Pura Pakualaman Yogyakarta bukan hanya sebagai tempat duduk. Ternyata kursi tersebut dapat pula dijadikan ‘alat’ simbolik untuk tujuan status display, sebagai upaya membangun citra. Simbol ini muncul dari dalam lingkungan keraton yang cenderung masih dijadikan model ideal bagi masyarakat Jawa.
Konsep kekuasaan jawa, sebagai pemimpin, raja dianggap sebagai orang yang memiliki konsep ‘gung binathara baudhendha hanyakrawati, ratu pinadhita, manunggaling kawula-Gusti’ yang dipengaruhi budaya Kejawen. Dalam kajian ini, Eddy yang luls doktor dengan predikat sangat memuaskan ini menyebutkan ada tiga pengaruh budaya yang sangat kuat terhadap lahirnya kursi kekuasaan jawa terutama yang divisualisasikan dalam bentuk Dhampar Kencana (singasana). Pertama, wujud dhampar kencana dipengaruhi oleh konsep budaya Hindu dimana seorang Raja merupakan penjelmaan atau titisan dewa.
“Hal ini tampak terwujud ketika raja yang lengkap dengan berbagai atribut dan ornamennya mampu duduk di atas kursinya sehingga mirip seperti sosok dewa wisnu,†kata lulusan doktor ke-1005 dari UGM ini.
Kedua, Sultan diposisikan sebagai manusia yang paripurna dan dianggap telah bersatu atau manunggal dengan Tuhannya. Hal itu sesuai konsep manunggaling kawula-Gusti. Manunggaling Kawula (hamba) lan Gusti (Tuhan) yang memperoleh makna konkret dalam manunggal-nya rakyat dan Raja atau raja dengan rakyatnya.
Ketiga, Dhampar kencana termasuk kategori kursi yang diwujudkan tanpa sandaran tangan dan sandaran punggung yang berasal dari bentuk ‘dhingklik’. Makna simboliknya bahwa raja sebagai hamba Allah, tidak bersandar kepada siapapun kecuali pada Tuhan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)