Tokoh Masyarakat Papua, sekaligus Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Freddy Numberi berpendapat, perlunya menjadikan lahan-lahan sagu di Papua dan Maluku sebagai Lahan Sagu Abadi (LSA) yang perlu dijaga kelestariannya agar secara turun temurun masyarakat dapat mengkonsumsinya sebagai pangan berkualitas baik dan bersih maupun menjadikan sagu sebagai salah satu alternatif bahan bakar etanol terbarukan yang ramah lingkungan.
Hal tersebut disampaikan Freddy Numberi dalam Seminar Nasional “Pemanfaatan dan Pendayagunaan Sagu Indonesia untuk Mengatasi Krisis Pangan dan Energi Nasionalâ€, Sabtu (22/11) di ruang pertemuan University club (UC) UGM. Menurut Numberi, lahan sagu di Indonesia cukup luas sekitar 1,2 juta hektar yang sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Baru sekitar 148 ribu hektar yang ada di alam dan dibudidaya, sudah dimanfaatkan.
Meskipun sagu memiliki potensi yang cukup besar, namun sejauh ini masih digunakan secara tradisional sebagai sumber pangan penduduk lokal. Padahal, sagu memiliki potensi sebagai sumber pangan pokok selain beras, karena kandungan karbohidrat yang memadai dana memilki kemampuan substitusi pasti sagu dalam industri pangan.
Diakui oleh pria kelahiran Serui Papaua, 15 Oktober 1947 ini, di Indonesia tidak semua masyarakat mengkonsumsi beras, khususnya di kawasan timur seperti Papua dan Maluku yang sejak turun temurun mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok sebelum mengenal beras.
Kearifan lokal mengkonsumsi sagu tersebut, imbuhnya, seharusnya ditopang oleh kebijakan dan strategi serta upaya pemerintah baik di pusat dan di daerah sehingga dapat memperkaya komoditi pangan nasional, tidak sebaliknya, pangan sagu terkesan diabaikan dan seolah-olah dipaksakan ke seluruh rakyat indonesia yang diharuskan makan beras.
“Sadar atau tidak, pemerintah sendiri telah mematikan kearifan lokal sagu yang ada di kawasan Papua dan Maluku,†jelasnya.
Prospek pengembangan sagu sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri diakui Numberi sangat menjanjikan. Karena itu, menurutnya, pengembangan berbagai jenis pangan dari sagu membutuhkan kebijakan dan sentuhan teknologi tepat guna, sehingga sagu memiliki nilai jual, baik di pasar nasional, regional maupun internasional. Selain itu, sagu dapat pula dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan bioenergi.
“Ketersedian bahan baku yng melimpah, menuntut penguasaan teknologi pengolahan bio energi, agar sumber daya yang tersedia dapat dimanfaatakan,†ujarnya.
Sementara Rektor UGM, Prof Ir Sudjarwadi MEng PhD, dalam sambutannya mengatakan, ide pemanfatan potensi sagu sebagai sumber pangan dan energi melalui teknologi tepat guna merupakan salah satu upaya memanfaatkan potensi kecerdasan yang dimiliki oleh generasi muda Indonesia. Menurutnya, di Indonesia baru 10 persen kecerdasan yang dimiliki oleh generasi muda yang dimanfaatkan secara optimal, sedangkan 90 persen sisanya belum dimanfaatkan.
“Saya berharap 90 persen kecerdasan yang belum digunakan itu bisa menghasilkan berbagai macam peluang dan informasi pengetahuan baru,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)