Fakultas Kehutanan UGM Kembangkan teknik silvikultur untuk pemulihan kembali potensi, fungsi dan produktifitas hutan di Indonesia saat ini terus mengalami kemunduran yang drastis dengan meninggalkan lahan yang kurang produktif berupa hutan sekunder dengan produktifitas rendah dan terus mengalami kerusakan. “Sejak 5 tahun terakhir ini terus mengembangkan tindakan silvikultur. Teknik ini sudah kita kenalkan sejak tahun 1996, tapi baru populer dan mengemuka dalam lima tahun terakhir ini ketika kita kembangkan di daerah pesisir selatan pantai jawa,†terang Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Prof. Dr. Ir. Moh. Naiem, M.Agr.Sc di sela-sela Seminar Silvikultur di Hutan Wanagama Gunungkidul, Senin (24/11)
Naiem mengatakan dengan metode silvikultur ini sangat memungkinkan mampu mengentaskan kondisi hutan Indonesia dari keterpurukan. Teknik ini dimulai sejak didirikannya hutan wanagama, yang kemudian pengalaman praktis ini lalu diajarkan ke anak didik dalam rangka melakukan rehabilitasi lahan kritis.
Diakui Naiem, teknik silvikultur ini sangat spesifik untuk hutan sekunder dalam pengembangannya juga sudah diterapakan di daerah lahan basah, Kalimanatan. Bahkan sudah dikembangkan menjadi lebih dari enam model dan diadopsi oleh Departemen Kehutanan RI serta 30 HPH yang bergabung menerapkan teknik ini.
“Teknik silvikultur ini, mampu merubah lahan yang kurang potensial unsur hara dan dianggap lahan kritis, diubah menjasi lahan yang bagus,†imbuhnya.
Metode silvikultur ini juga tengah gencar dilakukan di daerah pesisir Kebumen Jawa Tengah dengan luas lahan garapan sekitar 350 hektar dari daerah Petanahan hingga Ambal. Di daerah tersebut, tambah Naiem, tengah dikembangkan metode silvikultur dengan menanam pohon cemara udang. Menurut Na’im pohon cemara udang ini diyakini mampu mengantisipasi terjadinya banjir akibat tsunami serta melindungi ekosistem tanaman petani, lahan perikanan yang terletak di daerah kawasan pantai.
“Sebelumnya teknik bertujuan mengantisipasi dampak tsunami Pangandaran ternyata sampai juga ke Cilacap serta Kebumen. Kita mencoba kembangkan metode silvikultur dengan varietas pohon cemara udang yang sebenarnya juga prospektif karena bisa dijadikan bonsai yang memiliki daya jual tinggi,†tuturnya
Sementara pakar perlindungan hutan UGM Prof Dr Sumardi, mengatakan teknik silvikultur rehabilitasi hampir mirip dengan cocok tanam pertanian, namun di bidang kehutanan sistem cocok tanam yang dimaksud difokuskan pada hutan yang mengalami degradasi. Teknik ini diyakininya mampu memperbaiki ekosistem dan struktur ekologi.
“Dengan teknik ini mampu meningkatkan manfaat ekologi, lingkungan dan genetik hutan itu sendiri,†jelasnya.
Naiem menambahkan, teknik silvikultur yang dikembangkan kehutanan UGM ini mampu mempersingkat waktu produktifitas hutan tropis. Dari hasil penelitian dan pengalaman yang dilakukan selama ini, kata Naim, untuk satu pohon mampu bisa menghasilkan 300 hingga 400 kubik kayu dalam jangka waktu 30 tahun. Sementara dengan menggunakan teknik yang lama, waktu produksi mencapai umur 35 tahun yang hanya menghasilkan 40 kubik kayu.
“Ini sangat dimungkinkan, karena dalam teknik ini, bibit, sistem jalur penanaman, dan pemeliharaan selalu dikontrol,†jelasnya.
Terkait dengan kondisi semakin tingginya laju degradasi hutan, sangat disesalkan oleh Naiem. Dalam pandangannya, permasalahan kerusakan hutan ini dimulai sejak tahun 1970 an dimulai bersamaan dengan masuknya invetasi asing ke Indonesia. Akibatnya, pengembangan hutan lebih diarahkan ke sektor ekonomi tanpa melihat masalah ekologi yang ditimbulkan.
“Pengelolaan hutan diarahkan pada aspek ekonomi tanpa pada aspek ekologi dan sosial, dampaknya dapat kita rasakan kondisi hutan di Jawa dan luar Jawa yang carut marut,†jelasnya.
Celakanya, para pemegang HPH di Indonesia, lanjut Naiem, tidak melakukan pengembangan dan penebangan hutan sesuai dengan ketentuan yang ditetepakan. Diantaranya, kebanyakan pohon yang ditebang oleh pemegang HPH merupakan pohon dalam kondisi baik, lurus, karena menganggap harga lebih mahal. Selain itu, jumlah pohon yang ditebang di setiap hektarnya melebih dari ketentuan.
“Setiap satu hektar, mestinya hanya sepuluh pohon yang ditebang, dan memprioritaskan pohon yang cacat dan bengkok untuk ditebang terlebih dahulu, akibatnya semakin sulitnya menemui bibit hutan yang baik,â€tegasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)