Dalam hal pemanfaatan air untuk kepentingan kehidupan, petani senantiasa dipersalahkan. Pemakaian 80% cadangan air, petani dicaci-maki sebagai yang tidak efisien dan tidak produktif karena memberikan nilai tambah yang rendah atas pemakaian air bila dibanding sektor industri.
Cara berfikir rasionalitas demikian telah menafikan kontribusi petani sebagai pengendali lingkungan dan sistim ketahanan pangan dengan segala multiplier effects-nya. Hak kelola mereka atas air pun dicabut setelah diterbitkannya UU No 7/2004 yang sarat politisasi.
“Sejarah kedaulatan petani atas air tiba-tiba dirampas oleh negara dan dikurbankan demi industri dan pemakai air di kota-kota dengan janji nilai tambah yang teramat artifisial,†ujar Prof Dr Mochammad Maksum, Kamis (6/12) di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM.
Dalam seminar bulanan bertajuk “Desa Masih Menjadi Instrumen Pembangunan: Refleksi Pembangunan Pedesaan 2007â€, Maksum mengatakan terlalu banyak ilustrasi di negara ini yang mendikotomi model pembangunan nasional, mengadu petani dengan priyayi, sektor pedesaan berhadapan sektor perkotaan.
Simbiosis mutualistis tidak pernah terjadi secara sepadan. Petani sebagai pengawal mutu lingkungan hidup selalu saja dikurbankan bagi kepentingan para politisi dan pengambil kebijakan di perkotaan.
“Berbagai model subsidi-dan-taksasi hanya selesai di meja korupsi, bukan menyentuh petani,†lanjut Maksum.
Rakyat tani di daerah hulu, katanya, menjadi kambing hitam ketika terjadi kekritisan kondisi lahan dan air. Ia sekaligus menjadi harapan bagi segala upaya konservasi tanah dan air. Namun melalui mekanisme apapun, orang kota nyaris tidak memberikan imbalan layak bagi para petani yang setia menjaga sumber kehidupan.
“Sungguh tidak adil ketika petani harus memperpanjang kemelaratan demi usaha konservasi dan dimobilisasi untuk partisipasi plintiran dalam konservasi, sementara masyarakat kota dan sektor industri justru melakukan konsumsi sumber kehidupan ini secara murah, berlebihan sekaligus mencemarinya,†tandas Maksum. (Humas UGM)