Salah satu faktor yang dapat menghambat upaya peningkatan kualitas remaja adalah masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja. Dari berbagai laporan dinyatakan banyak remaja sudah terjebak dalam perilaku reproduksi tidak sehat, diantaranya perilaku seksual pranikah.
Bahkan penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan mayoritas remaja melakukan hubungan seksual pertama kali saat di bangku SMA, yaitu pada usia antara 15-18 tahun. Perilaku seksual pranikah remaja adalah segala tingkah laku seksual yang didorong oleh hasrat seksual lawan jenisnya, yang dilakukan oleh remaja sebelum mereka menikah.
“Bentuk-bentuk perilaku ini umumnya bertahap, mulai dari tingkat yang kurang intim sampai dengan hubungan seksual,” ujar Dra CHR Hari Soetjiningsih MSi, Selasa (2/12) di Auditorium Fakultas Psikologi UGM.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga menyampaikan hal itu saat melangsungkan ujian terbuka program doktor ilmu psikologi UGM. Promovenda mempertahankan desertasi “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja” dengan bertindak selaku promotor Prof Dr Masrun MA dan ko-promotor Prof Dr Endang Ekowarni.
Dikatakan perilaku seksual pranikah merupakan persoalan yang multidimensional, dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari dalam maupun dari luar diri remaja. Karakteristik remaja atau faktor personal, keluarga dan faktor-faktor di luar keluarga seperti sekolah, dan lingkungan sekitarnya dapat untuk memprediksi aktivitas seksual remaja.
Remaja, kata Soetjiningsih, berkembang tidak dalam isolasi, tetapi dalam lingkungan yang luas yaitu keluarganya, teman-teman sebayanya, sekolah, dan lingkungan tempat tinggalnya. Pemahaman ini menekankan pentingnya peran interaksi individu dengan lingkungannya, sehingga perilaku individu, termasuk perilaku seksual harus dipahami dalam keragaman konteks sosialnya.
“Oleh karena itu dalam penelitian ini, tidak semua determinan perilaku seksual pranikah remaja dikaji, namun hanya faktor-faktor yang dari penelusuran berbagai jurnal dekat dengan kehidupan dan perkembangan remaja yaitu faktor individual (self esteem, harga diri dan religiusitas), faktor keluarga hubungan orangtua-remaja, dan faktor di luar keluarga-keluarga, tekanan negatif teman sebaya dan media pornografi,” jelas perempuan kelahiran Rembang 25 Oktober 1959 alumnus Fakultas Psikologi UGM tahun 1983 ini.
Penelitian dilakukan terhadap 398 siswa SMA di kota Yogyakarta usia 15-18 tahun. Dengan teknik random, siswa-siswa dari 14 sekolah dan dari 20 kelas yang bervariasi ini disimpulkan faktor-faktor hubungan orangtua-remaja, self esteem, tekanan negatif teman sebaya, religiusitas dan eksposur media pornografi memiliki pengaruh signifikan baik langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku seksual pranikah remaja.
“Sumbangan faktor-faktor tersebut secara bersama sebesar 79 persen. Artinya 79 persen dari variasi perilaku seksual pranikah remaja dapat dijelaskan atau diprediksi melalui variable-variable hubungan orangtua-remaja, self esteem, tekanan sebaya, religiusitas dan eksposur media pornografi,” papar Soetji dalam kesimpulannya.
Dari 398 subjek penelitian, sebagian besar sekitar 84 persen (334 remaja) menyatakan hubungan seks pranikah adalah salah (tidak boleh) dengan alasan terbanyak karena dosa atau dilarang agama dan itu boleh dilakukan setelah ada ikatan pernikahan. Sedangkan 60 persen subjek penelitian menyatakan bahwa tingkat perilaku seksual yang boleh dilakukan sebelum menikah adalah sebatas ciuman bibir sambil pelukan. Aktivitas ciuman semacam ini oleh banyak kalangan remaja dianggap sebagai sesuatu yang biasa/ wajar.
“Dan hampir semua subjek (95 persen) mengaku pernah memperoleh pendidikan seksualitas berupa penjalasan tentang masalah atau topik-topik yang berkaitan seksualitas. Mereka (94,80 persen) juga menyatakan setuju pemberian pendidikan seks bagi kalangan remaja dan figur yang dianggap cocok memberikan pendidikan seksualitas dokter, psikolog, seksolog (31,8%), rohaniwan (34,4%) dan orangtua (31,3%),” tandas Sotjiningsih. (Humas UGM)