Saat musim kemarau merupakan kondisi yang paling tidak menguntungkan akan keberadaan sumberdaya air (SDA) dan stakeholders. Di musim itu, ketersediaan air di banyak sumber menurun secara drastis dan kebutuhan air justru meningkat secara tajam. Sementara pemanfaatan air semakin beragam dan kompetitif dengan tuntutan nilai air yang harus memenuhi ketepatan kriteria ekonomis, sosial dan budaya.
Bahwa penggunaan air telah diatur oleh pemerintah melalui UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, khususnya dalam pasal-1 (ayat 18 dan ayat 19). Oleh sebab itu, pengaturan air sedapat mungkin dilakukan sejak air hujan menyentuh permukaan bumi, sehingga memberikan hasil yang optimal dengan tetap memelihara kelestarian SDA.
“Dengan kendali seperti ini diharapkan dapat memberikan jaminan yang lebih baik dalam mendapatkan air selama kejadian aliran rendah, sesuai dengan ukuran resiko tertentu, dan dapat mempertahankan daya dukung SDA sehingga dapat memberikan manfaat sepanjang masa,” papar Ir Mamok Soeprapto Rahardjo MEng, Selasa (9/12) di KPTU Fakultas Teknik UGM.
Dosen Fakultas Teknik, UNS Solo mengatakan hal saat melangsungkan ujian terbuka program doktor UGM Bidang Ilmu Teknik Sipil. Promovendus mempertahankan desertasi”Pemodelan Pengelolaan Aliran Rendah Dengan Pendekatan Hidrologi Elementer” dengan bertindak selaku promotor Prof Dr Ir Sri Harto Br DipH dan ko-promotor Prof Ir Sudjarwadi MEng PhD dan Ir Djoko Luknanto MSc PhD.
Dalam desertasinya, Mamok melakukan kajian terhadap kelayakan pemberlakuan tiga tolok ukur resiko sebagai batas pengelolaan SDA dan berupaya mendapatkan informasi yang bermanfaat guna menyusun kebijaksanaan pengendalian aliran permuakaan. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, maka dikembangkan suatu Model Pengelolaan Aliran Rendah (MPAR).
MPAR sendiri dituangkan dalam bentuk program komputer dengan bahasa pemrograman MATLAB. MPAR terdiri dari dua analisis utama, yaitu pengalihragaman hujan menjadi aliran dan konsep optimasi berupa pemberlakuan tiga pokok tolok ukur resiko, yakni 1) keandalan (reliability), 2) kelentingan (resiliency) dan 3) kerawanan (vulnerability).
“Keandalan adalah estimasi frekuensi kejadian berada pada kondisi yang memuaskan selama eksperimen. Kelentingan digunakan untuk mengukur rerata waktu kembalinya suatu kejadian dari peristiwa yang tidak memuaskan selama waktu pengamatan. Sementara kerawanan sebagai ukuran kehebatan atau kepelikan (severity) rerata dari suatu kejadian, dan atau ukuran ke-ekstriman suatu kejadian,” jelasnya.
Hasil uji data menunjukkan bahwa agihan stasiun pencatat hujan di wilayah kajian kurang baik karena dari 7 (tujuh) stasiun pencatat terpilih, hanya lima stasiun yang masuk jejaring Kagan. Meskipun demikian, data hujan dari semua stasiun dalam wilayah kajian dapat dinyatakan panggah (konsisten). Hujan di wilayah kajian memiliki pola agihan berupa lengkung dengan kejadian puncak berada pada jam pertama dan menurun pada jam-jam berikutnya. Rerata durasi kejadian hujan di wilayah kajian berlangsung selama lebih kurang 4 jam.
Disimpulkan pula bahwa sistim grid mampu memberikan informasi yang bermanfaat dalam proses penyusunan kebijaksanaan pengendalian aliran permukaan dan tiga tolok ukur resiko (indeks keandalan, indeks kelentingan dan indeks kerawanan) layak dipertimbangkan sebagai pembatas pengelolaan SDA (Humas UGM).