Bahasa dalam tayangan sinetron perlu dicermati. Begitulah pesan yang disampaikan dua mahasiswa UGM, Dhinar Arga Dumadi dan Analisa Widyaningrum yang telah ditetapkan sebagai pemenang Duta Bahasa Indonesia tahun 2008.
Menurutnya, bahasa sinetron telah mengundang keprihatinan karena penggunaannya yang tidak mengenal tempat. Bahasa sinetron atau “bahasa gaul” dinilai telah digunakan secara salah kaprah. Yaitu digunakannya bahasa tidak baku (non formal) dalam situasi formal.
“Sebagai Duta Bahasa, kami ini kan mitra kerja pusat-pusat bahasa dan Balai Bahasa yang ada. Oleh karena itu kami ingin mengoptimalkan berbagai program kerja yang telah ada. Salah satunya terkait dengan program penggunaan bahasa,” ujar keduanya, Jum’at (12/12) di ruang Fortakgama UGM.
Dhinar Arga Dumadi, mahasiswa Sastra Perancis FIB UGM angkatan 2008 dan Analisa Widyaningrum, mahasiswi Psikologi UGM angkatan 2007 adalah wakil Provinsi DIY. Keduanya dinobatkan sebagai Duta Bahasa Nasional tahun 2008 setelah melewati beberapa tahapan seleksi, dan berhasil menyisihkan 25 peserta lain dari seluruh Indonesia saat seleksi tingkat nasional tanggal 20-27 Oktober 2008 lalu di Depdiknas. Keduanya lolos setelah melalui berbagai kriteria penilaian. Berbagai kriteria tersebut antara lain kemampuan bahasa Indonesia, bahasa asing dan daerah, hingga pembuatan makalah serta penyajiannya di hadapan dewan juri dari Pusat Bahasa.
Khusus untuk pembuatan makalah, ujar Dhinar, mereka berdua yang satu tim ini membuat sebuah judul “Bahasa Sinetron Sebagai Pemicu Rusaknya Jati Diri Bangsa”. Dalam makalah itu mereka menyoroti dampak dari penggunaan bahasa Indonesia terhadap perilaku/kesopanan dan efek psikologis terhadap masyarakat, khususnya anak-anak.
“Bahasa sinetron kita akui banyak digunakan tidak pada tempatnya sehingga sering membuat kesalahan pula ketika dipraktekan di masyarakat. Ironisnya banyak pula yang secara psikologis menyebabkan efek negatif bagi anak karena bahasanya yang kasar dan tidak sopan,” tutur Dhinar.
Sementara, Analisa Widyaningrum menambahkan setelah mereka berdua berhasil menyabet gelar duta bahasa, maka pada tanggal 28-31 langsung diikutsertakan dalam Kongres Bahasa Indonesia tingkat Internasional di Jakarta. Konggres ini, katanya, diikuti oleh 20 negara dunia seperti China, Australia, dan Jerman.
“Jelas kita bangga karena ternyata bahasa Indonesia di luar negeri sudah diajarkan. Bahkan di China dibuka pula jurusan Bahasa Indonesia pada salah satu Universitasnya,” terang Analisa.
Dengan kemenangan tersebut mereka berdua berhak mendapatkan hadian piagam, uang pembinaan masing-masing Rp 7 juta serta pin emas. Sebagai Duta Bahasa Nasional, keduanya akan menjalankan tugas-tugas secara terus menerus.
“Tidak ada batasan waktu. Seandainya nanti terpilih Duta Bahasa Nasional yang baru, maka itu akan menjadi mitra. Kami berdua tetap sebagai Duta Bahasa, istilahnya tambah teman dalam menjalankan tugas-tugas sebagai Duta Bahasa Nasional,” tandas Dhinar (Humas UGM)