Keberadaan lakon tradisi pedalangan di Yogayakarta patut dipertahankan keberlanjutan dalam rangka membantu kelestarian lakon tradisi pedalangan bagi para dalang bukan keturunan dan dalang pemula. Namun demikian, penyebaran lakon-lakon wayang dalam tradisi para dalang ini hanya menggunakan tutur lisan yang hanya didengarkan dan disajikan melalui pertunjukan sehingga sampai saat ini terjadi perbedaan persepsi antar dalang.
“Kelemahan lakon tradisi pedalangan ini menyebabkan banyak para dalang pemula merasa segan untuk bertanya kepada dalang senior, sehingga tidak jarang para calon dalang mengkonsumsi buku-buku lakon yang beredar di pasaran yang justru kebanyakan bukan tradisi lakon Yogyakarta. Bisa dipastikan sajian lakon-lakon dalam pertunjukan wayang di yogyakarta menjadi berantakan tidak jelas,†kata Pemerhati Wayang Ki suharno S.Sn dari ISI Yogyakarta, dalam Sarasehan ‘Lakon Rama Nitis, dalam Tradisi Pedalangan,’ Senin (15/11) di Ruang Auditorium FIB UGM.
Menurut Ki Suharno, harus ada pihak terkait yang bisa menerbitkan dan mengedarkan lakon-lakon tersebut untuk masyarakat umum dan seniman dalang dalam bentuk buku sehingga tidak hanya dikaji dan diteliti para ilmuwan semata.
“Lakon tradisi pedalangan akan semakin lengkap bila ditambah dengan keterangan berbagai hal menyangkut kelengkapan informasi dalam lakon yang kebanyakan tidak terdapat di dalam lakon tradisi pedalangan,†tambahnya.
Ki Suharno berpendapat, Teks lakon Mahabarata Ngajogjakarta merupakan salah satu contoh sangat membantu dalam menjawab berbagai permasalahan dalam lakon tradisi pedalangan yang muncul di Yogyakarta. Penyajiannya yang lengkap disertai dengan keterangan lakon sebelum dan sesudahnya, serta urutan silsilah menambah wawasan bagi seniman dalang.
“Bahkan mungkin masih ada puluhan lakon yang belum terungkap di khasanah pedalangan yogyakarta dan terdapat dalam teks lakon tersebut,†ujarnya.
Dalam tradisi pedalangan di Yogyakarta, banyak lakon-lakon yang sering dipergelarkan diantaranya adalah Sinta Nitik, Rama Nitik, Rama Nitis. Lakon Rama Nitis dikatakan Ki Suharno merupakan salah satu lakon yang menarik, karena merupakan pertemuan dua zaman yaitu Ramayana dan Mahabarata. Lakon Rama Nitis ini menurutnya paling banyak disajikan dan hampir mendekati teks lakon serat Mahabarata Ngajogjakarta.
“Dalam pertunjukan wayang, lakon-lakon yang disajikan sebagian besar mengambil dari cerita Ramayana dan Mahabarata, hingga saat ini cerita tersebut masih tersebar di kalangan dalang-dalang di Yogyakarta dan terus diturunkan kepada anak cucu keluarga dalang-dalang di yogyakarta dan terus diturunkan kepada anak cucu keluarga dalang tersebut,†katanya.
Sarasehan lakon “Rama Nitis†juga menghadirkan pembicara Drs Manu Wuidyaseputra dan Ir Suryono Mphil yang dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan pentas wayang kulit Dies Natalis ke-59 UGM, pada hari Sabtu, 20 Desember 2008 di Boulevard kampus UGM dengan lakon “Rama Nitis†dengan dalang Ki Radyo Harsono. (Humas UGM/Gusti Grehenson)