Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, dunia dilanda dua kali krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1998 dan krisis ekonomi yang terjadi tahun 2008 ini. Perbedaan antara kedua krisis tersebur adalah bahwa krisis yang pertama dipicu oleh dan terjadi pada sebagian besar negara Asia, sedangkan krisis yang kedua dipicu oleh negara-negara donor yang kini berdampak di seluruh negara di dunia.
“Masuk akal jika dikatakan bahwa krisis yang kedua ini kesalahan tidak terjadi pada negara-negara Asia tetapi dampaknya melanda semua negara bahkan bisa jadi akan lebih buruk dan berlangsung lebih lama,†kata Pengelola Program Magister Hukum UGM Paripurna P Sugarda SH, LLM usai pelaksanaan seminar Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan perkembangannya†hasil kerjasama CICODS dan Magister Hukum FH UGM, Kamis sore (18/12), di Gedung Sekolah Pascasarjana UGM.
Menurut Sugarda, dalam mengatasi krisis pertama, sebelumnya Indonesia mencoba melihat dan belajar dari negara-negara donor bagaiaman mereka bisa mempunyai struktur perekonomian yang relatif lebih kuat. Hal tersebut tercermin dengan adanya peluncuran atau perubahan peraturan perundangan di bidang ekonomi di tanah air, dengan munculnya hukum arbitrase dan penyelesaian sengketa alternatif, hukum kepailitan, hukum perbankan, hukum money laundering dan lain-lain, termasuk hukum larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
“Pada saat kita mulai yakin akan apa yang kita lakukan dalam menerapkan regulasi di bidang ekonomi, krisis kedua terjadi justru dimulai dari negara-negara yang hukum ekonominya menjadi panutan,†tandasnya.
Ada dua hal yang menjadi perhatian dalam pengaturan hukum ekonomi yang berlaku selama ini, kata Sugarda, yakni regulasinya sendiri dan institusi penegakannya. Menurut pandangan Sugarda, dalam konteks hukum persaingan usaha hal tersebut menyangkut bagaimana pengaturan dan bagaimana penegakan hukum termasuk eksistensi lembaga penegaknya.
Untuk melihat eksistensi regulasi dan penegakannya secara jernih, ujar Sugarda, diperlukan lembaga netral sehingga bisa melakukan evaluasi, pemberian saran maupun rekomendasi yang dilakukan tanpa pamrih, bersifat obyektif, mengandung kajian teoritis dan bersifat membangun.
“Salah satu lembaga netral seperti ini dapat diperankan oleh pergurun tinggi,†katanya.
Menurut penilaiannya, keberadaan hukum persaingan usaha sendiri semenjak dikeluarkannya undang-undang anti monopoli tahun 1999 telah meminimalisir persaiangan usaha tidak sehat dan memberantas praktik monopoli sehingga persaiangan usaha sekarang berjalan cukup seimbang. Bahkan dengan dibentuknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sejak delapan tahun lalu sudah berhasil menerima laporan 1000 kasus di bidang persaingan usaha tidak sehata meski baru 74 kasus yang sudah diselesaikan.
“Secara keseluruhan prestasi KPPU cukup signifikan, dibanding dengan negara Thailand baru menyelesaikan puluhan kasus,†katanya.
Dengan adanya KPPU ini diakui Sugarda, setidaknya memberi dampak bagi kondisi persaingan usaha di tanah air yang berjalan dengan sehat dan seimbang dan tidak ada lagi bentuk praktik monopoli yang pernah terjadi di masa lalu, dimana perdagangan terigu, perbankan, dan film dikuasai oleh orang-orang kelompok tertentu.
Meski demikian, imbuhnya, KPPU perlu untuk bekerja lebih keras lagi dengan melibatkan NGO, masyarakat, dan akademisi dalam mengawasi perasaingan usaha yang tidak sehat dari bentuk praktik monopoli.
Seminar yang diprakarsai Magister Hukum UGM, Center for Intellectual Property Right, Competition and Dispute Settlemenet Studies (CICODS) FH UGM dan didukung oleh ICL-GTZ membahas perkembangan hukum persaingan usaha, posisi dominan persaingan usaha dan penegakan hukum persaingan usaha di indonesia. (Humas UGM/Gusti Grehenson)