Trend modus operandi tindak pidana pencucian uang di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup Signifikan yang dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya, melakukan penipuan melalui penggunaan identitas palsu dalam proses pembukaan rekening di bank. Selain itu, modus pencucian uang juga dilakukan dalam bentuk pembelian asset berharga dan penempatan investasi pada financial market yang juga kian bertambah. Disamping itu, tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi masih juga banyak dilakukan terutama melalui penyalahgunaan APBN/APBD oleh bendahara atau pemegang kas di instansi-instansi pemerintah.
Demikian disampaikan oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein dalam Seminar “Pemberantasan Korupsi dan Money Laundering: Tantangan, Prospek dan Dampak terhadap Perekonomian” yang diselenggarakan Program Magister Sains dan Doktor FEB UGM, Sabtu (31/1) di Kampus UGM, Bulaksumur. Menghadirkan juga pembicara Wakil Ketua KPK Dr Haryono Umar, BRR NAD Nias Aceh Yustra Iwata Alsa, Ekonom UGM Rimawan Pradipto dengan moderator Prof Dr Ainun Na’im MBA.
Menurut Yunus, di sektor perbankan, pola pencucian uang sering dilakukan dengan pengunaan rekening dengan menggunakan nama palsu akibat belum efektifnya pengaturan mengenai nomor identitas tunggal (single identity number) di Indonesia. Sehingga banyak terdapat kelemahan dan kesulitan dalam pengawaasan dan penelusuran sebuah travel check.
“Untuk melakukan penguatan pengawasan transaksi keuangan untuk identitsa palsu, langkah yang bisa dilakukan yakni pembuatan nomor identitas tunggal bagi semua warga negara untuk memudahkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana,” katanya.
Sementara modus pencucian uang dalam bentuk pembelian asset berharga dan penempatan investasi pada financial market, lanjut Yunus, diantisipasi dengan mengefektifkan penerapan penyitaan aset dan pengembalian aset, agar harta kekayaan hasil kejahatan yang kembali ke negara dapat lebih maksimal. Di samping itu, tambahnya, penguatan pengaturan tentang jasa pengiriman uang alternatif dan pengriman uang secara elektronis juga perlu diterapkan.
Sedangkan penyalahgunaan APBN/APBD oleh bendahara atau pemegang kas di instansi-instansi pemerintah semestinya dilakukan melalui peningkatan pengawasan kepatuhan penyedia jasa keuangan agar memiliki kesadaran yang lebih tinggi untuk memenuhi kewajibannya sebagai pihak pelapor. Menurut yunus, hal ini bisa dilakukan dengan cara pengelolaan database secara elektronis dan ketersambungan database antar instansi terkait, sehingga kebutuhan informasi setiap instansi dapat terpenuhi.
“Agar penanganan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya menjadi lebih efektif dan efisien di instansi pemerintah,” jelasnya.
Yunus menyebutkan, selama beberapa tahun terakhir, jumlah Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang disampaikan oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada PPATK telah meningkat pesat. Jika pada tahun 2002, jumlah LKTM per bulannya adalah 10,3, maka jumlah ini kemudian meningkat menjadi 171 LKTM per bulan di tahun 2005, dan terus meningkat menjadi 290 LKTM per bulan pada tahun 2006, 486 LKTM per bulan pada tahun 2007 dan terus naik drastis menjadi rata-rata 869 LKTM per bulan pada tahun 2008.
“Rata-rata per hari PPATK menerima 29 laporan transaksi keuangan mencurigakan,” katanya.
Lebih jauh Yunus menambahkan, Laporan LKTM masih tetap didominasi oleh perbankan sekitar 69,1 persen, perusahaan valuta asing 19,7 persen, dan perusahaan efek sebanyak 17,16 persen. Hingga Desember 2008, kata yunus, sebanyak 135 PJK berbentuk bank dan 109 PJK non bank telah menyampaikan 23.056 LKTM. Sedangkan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) yang diterima oleh PPATK berjumlah 6.387.270.
Sementara Wakil Ketua KPK Haryono Umar menegaskan, lembaganya bertekad akan meningkatkan kepatuhan para penyelenggara negara untuk melaporkan kekayaannya usaha untuk menimalisir tindak kejahatan korusi dalam bentuk pencucuian uang melalui kewajiban pelaporan kekayaan penyelenggara negara. Meski begitu, dirinya menyebutkan penyampaian kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di lembaga yudikatif dan eksekutif masih rendah dibandingkan dengan lembaga legislatif dan BUMN/BUMD.
Hingga januari 2009 ini, kata Haryono, jumlah wajib lapor kepatuhan LHKPN di lembaga eksekutif dan yudikatif masih dibawah 90 persen, yakni 85, 42 persen dan 70, 29 persen. Adapun lembaga legislatif dan BUMN/BUMND sudah mencapai jumlah kepatuhan LHKPN masing-masing 99,57 persen dan 96,49 persen.
“KPK akan terus meningkatkan jumlah kepatuhan LHKPN para penyelenggara negara untuk melaporkan kekayaannya. Para pejabat penyelenggara negara yang belum lapor akan kami panggil untuk melengkapinya dan ditanya apa yang menjadi kendala,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Ekonom UGM Dr Rimawan Pradipto, mengungkapkan maraknya kasus pencucian uang di perbankan, perusahaan valuta asing dan efek disebabkan sanksi kejahatan ekonomi yang diterapkan dan berlaku di Indonesia nilainya sangat kecil dan tidak sepadan dengan nilai dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Menurut Rimawan, waktu hukuman badan jauh lebih pendek daripada keputusan pengadilan sehingga efek jera si pelaku bergantung pala pelaksanan hukuman riil daripada keputusan hakim.
“Sangsi di dalam berbagai UU dalam kejahatan ekonomi mungkin rasional secara ilmu hukum tapi tidak rasional secara ekonomi,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)