Pengamat Politik UGM Drs Cornelis Lay MA menilai, sistem pemilihan legislatif berbasis pemilihan individu calon dengan cara mencentang nama banyak mengalami kesulitan di kalangan pemilih pedesaan. Bahkan kejadian kesalahan cara memilih calon di kertas suara akan mendominasi dalam perhitungan suara di pemilu legislatif 2009.
“Kesalahan ini wajar terjadi, karena pemilihan dengan cara mencentang nama calon sama halnya mengubah secara instan cara memilih sekaligus persepsi pemilih,” kata Cornelis Lay dalam seminar bulanan “Desa dalam Pergulatan politik 2009”, Kamis sore (8/1) di Pusat Studi Pedesaan dan Keawasan (PSPK) UGM.
Menurut staf pengajar Isipol UGM ini, faktor pendidikan sangat mempengaruhi kesalahan dalam proses pencentangan. Sebab 18 persen masyarakat indonesia yang sebagian besar hidup di daerah pedesaan merupakan tidak pernah mengenyam bangku sekolah.
“Membaca nama calon bagi mereka tentu tidak mudah,” ujarya.
Bukan hanya itu, tambahnya, bagi pemilih yang berusia di atas 40 tahun, juga akan mengalami kesulitan adanya persoalan rabun membaca tulisan nama dengan huruf kecil atau melihat foto calon.
Cornelis beralasan, dalam pengalaman pemilu sebelumnya, proses pemilihan dengan cara mencoblos butuh waktu 5 kali pemilu agar masyarat terbiasa dan bisa melaksanakan tata cara pemilihan yang diinginkan. Begitu juga dengan jenis pilihan, setidaknya perlu 7 kali pemilu agar masuyarakat bisa memilih simbol atau lambang partai.
“Hal ini tidak hanya terjadi dalam pemilu nasional, dalam pemilihan kepala desa juga dengan memilih simbol seperti padi, cangkul saja tidak bisa diubah secara mendadak,” katanya.
Kondisi ini kata Cornelis Lay, diperparah dengan suasan pemilih pedesaan yang sudah terbiasa dengan proses pemilu di masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi sebanyak 7 kali pemilu sangat hafal bila pemilu memilih gambar partai dan mencoblos.
“Bila pemilih di pedesaan harus menyontreng dan memilih nama calon, potensi salah sangat besar,” ujar dia.
Di samping permasalahan tata cara memilih dalam Pemilu 2009 ini, juga dihadapkan dengan banjirnya caleg yang turun ke desa dengan slogan ‘memakmurkan’ desa. Cornelis, memperkirakan, mulai bulan Maret, arus perputaran uang ke desa-desa sangat deras.
“Uang itu dari caleg dalam rangka meraih dukungan. Saya kira ini fenomena wajar karena pemilihan caleg berbasis individu akan mendorong transaksi politik sama halnya dalam pengertian transaksi ekonomi,” tegasnya.
Tidak hanya itu, ujarnya, masyarakat desa nantinya juga akan dihadapkan fenomena caleg ‘narsis’, menjual diri dengan menyanjung diri. Tontonan ini bagi masyarakat pedesaan tentunya sangat aneh, karena budaya mereka adalah budaya low profile, rendah hati, tak suka menonjolkan diri.
“Ini terjadi karena adanya kampanye indovidu caleg berbeda halnya saat kampanye parpol yang menekankan program partai,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)