Pesta akbar pemilu 2009 rentan dengan tindakan penyelewengan dana yang berujung pada tindak korupsi. Beberapa sektor yang disinyalir potensial terjadinya korupsi diantaranya biaya penyelenggaraaan pemilu oleh KPU dan KPUD, politik uang, dan ketidakjelasan pengawasan aliran dana kampanye pada saat pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres.
“Berkaca pada pemilu 2004, sangat jelas ajang tersebut seringkali dimanfaatkan oleh oknum tak bertanggungjawab untuk menilep uang negara. Hal seperti ini terjadi karena ada beberapa faktor seperti besarnya anggaran pemilu, adanya pihak yang bermain, serta munculnya kepentingan politik jangka pendek,” ujar Direktur Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM Zainal Arifin Mochtar SH LLM, dalam menyampaikan hasil laporan “Refleksi Pemberantasan Korupsi 2008 dan Harapan Pemberantasan Korupsi 2009”, Selasa (6/1) di kantor Pukat Korupsi UGM, Komplek Bulaksumur.
Dikatakan Zainal, dana anggaran negara yang dikelola KPU cukup besar, sebagaimana telah disetujui DPR untuk pemilu 2009, total anggaran pemilu dialokasikan sebesar 13,5 triliun untuk pemilu legislatif dan pilpres. Dana tersebut sebagian besar dialokasikan untuk kebutuhan operasional KPU dan KPUD serta pengadaan logistik. Padahal, untuk urusan logistik, anggaran yang dikeluarkan jumlahnya tidaklah sedikit, untuk pengadaan surat suara dengan total pemilih sekitar 172 juta, dibutuhkan kurang lebih 750 juta lembar surat suara.
“Belajar dari kasus terdahulu, maka sudah semestinya pengadaan logistik harus dijalankan dengan benar. Dalam arti harus menjalankan mekanisme tender secara terbuka dan bukan penunjukan langsung seperti KPU terdahulu. Jika mekanisme ini dijalankan dengan baik maka kemungkinan terjadinya korupsi juga bisa diminimalisir,” imbuhnya.
Sementara praktik politik uang dalam pemilu 2009, tambah Zainal, sangat mungkin terjadi bersamaan dengan sudah dikeluarkannya putusan MK yang membatalkan penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut namun sebaliknya berdasarkan atas suara terbanyak. Putusan ini, kata Zainal, membawa dampak terjadinya politik uang yang dilakukan oleh para caleg untuk menarik simpati pemilih untuk meraih dukungan sebanyak-banyaknya.
“Dalam kondisi seperti ini maka cara yang paling mudah ditempuh oleh para caleg meraih simpati pemilih dengan cara menggelontorkan uang sebanyak-banyaknya, kalaupun tidak dalam bentuk uang, maka bentuknya bisa dengan bermacam-macam barang,” imbuhnya.
Praktik sedemikian ini, disinyalir Zainal dilakukan oleh semua caleg baik mereka yang sudah terlanjur memiliki nomor urut “jadi” atau yang memiliki nomor urut paling bawah sekalipun.
Di samping itu, bentuk praktik korupsi penyelenggaraan pemilu lainnya yang perlu diwaspadai menurut Zainal adalah terkait adanya aliran dana kampanye. Terutama asal muasal serta arah aliran dana kampanye yang diperoleh para calon anggota DPRD, DPD, DPR, Capres dan Partai Politik. Meskipun sudah ditentukan besarnya jumlah sumbangan yang diterima oleh partai melalui perorangan sebesar 1 miliar dan dari kelompok atau badan usaha sebesar 5 miliar, namun dalam aturan tersebut juga tidak membatasi jumlah maksimal dana yang diterima.
“Dengan begitu, tidak menutup kemungkinan bagi para donatur maupun sponsor menggunakan nama orang lain, akhirnya muncul akal-akalan, akibatnya terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme,” katanya.
Melihat kondisi yang kemungkinan besar terjadi dalam pemilu 2009 nanati, Zainal Arifin Mochtar menghimbau semua kalangan untuk tetap mengawal penegakan hukum kasus korupsi di tahun 2009 termasuk dalam hal pengawasan potensi korupsi yang berkaitan dengan penyelenggaran pemilu.
Dalam laporan akhir tahun pemberantasan korupsi tahun 2008 yang disampaikan oleh tim Pukat Korupsi UGM menyampaikan data bahwa sudah terjadi 126 perkara korupsi di sepanjang tahun 2008 dengan aktor dan sektor yang dikorupsi masih sama.
Disebutkan, dari 126 kasus korupsi yang berhasil dipantau Pukat Korupsi UGM, sebanyak 87 kasus korupsi dalam bentuk penyelewengan dana anggaran APBD, 16 kasus mark up dan 13 kasus suap. Adapun tiga besar pelaku korupsi dilakukan anggota dan mantan anggota DPRD sebanyak 89 orang, para pejabat dan mantan pejabat daerah 65 orang dan dari swasta/rekanan sebanyak 40 orang. Berikutnya pelaku korupsi dilakukan Bupati/walikota 16 orang, pejabat BUMN 13 orang, sisanya 26 orang berasal DPR, mantan Gubernur, pejabat Departemen dan mantan Konsulat Jenderal. (Humas UGM/Gusti Grehenson)