Peneliti kependudukan dari Universitas La Trobe, Australia, Dr Jannet Penny Bannet, mengungkapkan imigrasi penduduk Indonesia ke Australia telah memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan perekonomian Australia dan memperkaya budaya modern Australia. Para migran asal Indonesia ini, menurutnya, mampu beradaptasi dengan baik dengan lingkungan budaya Australia tanpa adanya konflik, hidup dengan tenang meski kebanyakan dari mereka tidak membentuk komunitas yang sama dengan menetap di suatu areal yang sama.
“Mereka bisa menempatkan diri dengan baik, entah itu di tempat kerja, di sekolah, gereja dan dalam lingkungan bertetangga,” ungkap Jennet dalam Seminar “Indonesian in Australia:A History” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Senin (5/1) di Gedung Magister Studi Kebijakan UGM.
Meski Begitu, lanjutnya, kondisi krisis ekonomi global yang terjadi belakangan ini menyebabkan pemerintah Australia menerapkan kebijakan ekonomi yang baru yang khusus diperuntukan kepada imigran yang ada di Australia.
“Kebijakan ekonomi pemerintah hanya terbuka kepada para imigran yang sudah memberikan dampak nyata terhadap perkembangan ekonomi Australia yang lebih baik dan bahkan mereka dipersilahkan dapat mengisi posisi pekerjaan yang mereka inginkan,” ujarnya.
Kebijakan ini menurut pandangan Jannet tentunya memberikan dampak bagi keberadaan imigran indonesia untuk tinggal di negeri kangguru tersebut. Dengan diterapkan kebijakan baru ini menyebabkan makin sedikitnya orang indonesia yang nantinya bisa memiliki akses untuk berimigrasi ke Australia.
“Tentunya, kebijakan ini nantinya hanya bisa diakses dari kalangan masyarakat kelas menengah Indonesia yang memungkinkan mereka datang ke Australia untuk mengenyam pendidikan, namun bagaimanapun tidak akan semuanya bisa melakukan imigrasi karena tergantung dengan kontribusi ekonomi yang diberikan nantinya terhadap Australia,” imbuhnya.
Bagi warga negara Indonesia yang sudah menetap lama di Autralia, kebijakan baru di bidang ekonomi ini menyebabkan mereka untuk berpikir ulang untuk menetap di Australia. Bahkan kebanyakan dari mereka berencana hanya untuk sementara waktu saja tinggal di Australia, sebaliknya berencana untuk kembali pulang ke Indonesia.
“Dari para keluarga yang sudah saya wawancarai, mereka beralasan jika situasi kerja yang berubah sekarang ini, mereka memilih kembali ke Indonesia, namun alasan ini menurut saya sangat logis sebagai salah satu bentuk contoh dari mobilitas perpindahan masyarakat modern,” ungkapnya.
Dalam presentasinya, Jannet menjelaskan bahwa proses imigrasi penduduk Indonesia ke Australia sudah berlangsung sejak lebih dari 150 tahun yang lalu yang dimulai sejak tahun 1750 melalui perdagangan ‘teripang’ (timun laut) antara orang Bugis dengan suku Aborigin, Australia. Namun sejak penjajahan kolonial yang terjadi di kedua negara, pemerintah kolonial Belanda di Indonesia sempat mengirim ribuan orang asal Indonesia untuk tinggal di Australia sebagai pekerja di sana.
Berdasarkan hasil sensus penduduk Australia di tahun 2006, saat ini sebanyak 50.975 penduduk Indonesia yang sudah menetap di Australia, terdiri 28.175 perempuan dan 22.803 laki-laki. Dari penelitian Jannet, sedikitnya 91 persen jumlah penduduk indonesia yang ada di Australia mampu berbicara bahasa inggris dengan cukup baik dan hanya 7 persen yang belum sepenuhnya bisa berbicara dalam bahasa inggris bahkan ada yang tidak bisa sama sekali. (Humas UGM/Gusti Grehenson)