Dekan FIB menjadi Koordinator Pengurus Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri.
Sekilas tak banyak perbaikan yang terjadi pada Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) pasca terjadinya musibah angin puting beliung beberapa waktu lalu. Namun, dengan strategi dan metode yang baru, pengurus PKKH akan berusaha mengoptimalkan kembali fungsi PKKH.
Dr. Ida Rochani Adi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, yang ditunjuk Rektor UGM sebagai Koordinator Pengurus baru PKKH, menyatakan, dirinya memang belum mengadakan rapat formal dengan pengurus baru. Akan tetapi, secara pribadi, dia telah memiliki gagasan-gagasan yang siap diajukan kepada tim dan Rektor UGM.
Bu Ida menjelaskan, terdapat tiga konsep utama pengelolaan PKKH. “Pertama, fungsinya jelas untuk pusat kebudayaan. Kedua, akan tetapi tidak hanya semata-mata untuk kebudayaan, akan dipikirkan juga bagaimana menjadi pusat informasi kebudayaan dari seluruh dunia yang nantinya akan dibuat dalam format digital. Ketiga, adanya pemikiran bahwa pelestarian kebudayaan erat kaitannya dengan sikap dan mental bangsa ini, terlebih generasi muda. Untuk bisa mewujudkan pengembangan kebudayaan itu, maka diperlukan sistem yang berkesinambungan,” paparnya.
Dipilihnya format digital sebagai metode baru diungkapkan Bu Ida sebagai suatu cara untuk memvisualisasikan kebudayaan-kebudayaan baik Indonesia maupun luar negeri sehingga pengunjung akan lebih tertarik. ”UGM kan sering dikunjungi siswa SMP, SMA, dan universitas lain. Dengan format digital itu, mereka akan melihat betapa bagusnya budaya Indonesia. Jadi kita tidak hanya sekedar menginformasikan, tapi lebih kepada mempersuasi dan menimbulkan rasa cinta mereka. Kalau menginformasikan kan arahnya mereka hanya sekadar mengerti. Sekarang kita berusaha menimbulkan appealing ke emosi sehingga mereka termotivasi untuk melestarikan,” jelas Bu Ida.
Strategi baru yang ditekankan oleh Bu Ida adalah bagaimana pengurus mampu menciptakan inviting capable, yakni kemampuan untuk mengundang masyarakat, baik SD, SMP, SMA, dan lainnya untuk datang mengunjungi PKKH. Sampai di sana mereka akan mengagumi bangsa Indonesia dan mengetahui kebudayaan-kebudayaan di dunia. “Intinya adalah bagaimana membangun rasa bangga sehingga bersedia melestarikan kebudayaan. Yang penting bagaimana caranya mereka mau datang dulu, karena kalau mau melestarikan kebudayaan akan berhasil bila mampu melibatkan orang banyak,” tandasnya.
Meskipun masih sebatas rencana, Bu Ida berharap melalui gagasannya tersebut centre of exellent UGM akan terlihat, yakni UGM ikut serta dalam membangun bangsa melalui langkah mempersuasi masyarakat untuk mencintai kebudayaan. Bisakah rencana ini kelak terwujud? Kita lihat saja nanti (Susan, Abrar).