Belajar dari pengalaman pahit akibat peristiwa bencana, tidak dapat ditawar lagi kita harus sadar bahwa hampir seluruh bumi Indonesia rawan bencana. Gerakan penyadaran masyarakat perlu dikemas dalam bentuk pemberian pengetahuan tentang kebencanaan, sekaligus pelatihan keterampilan agar mampu melakukan tindakan penanggulangannya.
Sifat-sifat bencana ada yang dapat diprediksi, tetapi ada juga yang tidak. Kepekaan terhadap masalah kebencanaan akan membekali masyarakat dalam menyikapi kemungkinan terjadinya bencana. Pendidikan kebencanaan wajib diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat agar mempunyai pengetahuan tentang kondisi daerahnya, ancaman bencana, dan cara penanggulangannya. “Diharapkan, dengan memahami kondisi daerah tempat tinggalnya, masyarakat dapat beradaptasi dan selalu siaga terhadap ancaman bencana dalam menjalankan kehidupannya,” papar Ir. Lies Rahayu, M.P. di Pusat Studi Bencana (PSB) UGM saat berlangsung Seminar Nasional “Reorientasi Pendidikan Kebencanaan dalam Rangka Pengurangan Risiko Bencana”, Rabu (15/7).
Sebagai salah satu pembicara seminar, Lies Rahayu mengemukakan generasi muda yang berjumlah 60% dari jumlah penduduk Indonesia merupakan sumber daya yang sangat potensial untuk dilibatkan dalam pembangunan nasional dan penanggulangan bencana. Oleh karena itu, generasi muda sebagai aset pelaku pembangunan di masa mendatang perlu mendapatkan prioritas utama untuk menerima pendidikan kebencanaan.
“Dengan pendidikan kebencanaan diharapkan akan terjamin suasana yang harmonis antara manusia dengan lingkungan hidupnya, tidak ada kekhawatiran terhadap bencana yang mungkin akan timbul di daerahnya,” jelasnya.
Diterangkannya bahwa program pendidikan kebencanaan dapat menjadi media untuk mendekatkan generasi muda kepada alam, tanpa harus menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan kebencanaan tidak dapat dilakukan secara mendadak, tetapi harus mengikuti perjalanan hidup manusia, mulai dari anak-anak, dewasa, hingga tua (life long education).
“Jenjang pendidikan formal dapat menjadi media penyampaian pendidikan kebencanaan yang ideal dan untuk kepentingan tersebut dapat dimulai dari jenjang pendidikan dasar,” ujarnya.
Lies Rahayu menuturkan pemahaman masyarakat terhadap karakter bencana merupakan jaminan investasi keselamatan hidup di masa depan. Selama ini, pengalaman sejarah peristiwa bencana lebih banyak menyisakan kepiluan dan penderitaan. Peristiwa bencana di Indonesia merupakan kejadian yang selalu berulang. Namun, begitu mudahnya masyarakat melupakan dahsyatnya akibat yang ditimbulkan.
“Hal ini terutama terdapat pada peristiwa bencana yang siklus kejadiannya cukup lama, sementara tidak ada satu pun upaya untuk menyediakan media bagi pembelajaran bencana untuk masyarakat. Oleh karena itu, pada setiap kejadian bencana, masyarakat selalu panik dan tidak pernah siap,” tambahnya.
Dalam hangatnya isu tentang kebencanaan saat ini, pembahasan tentang bencana tidak dapat dilakukan secara sepihak. Hal tersebut disebabkan sifat interdependency yang melekat pada lingkungan hidup manusia menuntut kerja sama multipihak secara serentak dan menyangkut seluruh lapisan masyarakat.
Pentingnya pemahaman tentang bencana untuk masa sekarang hingga masa yang akan datang, ditegaskan oleh Lies Rahayu, secara eksplisit menunjukkan perjuangan manusia untuk menyelamatkan diri dari ancaman bencana harus dilakukan secara berkesinambungan, dengan jaminan estafet antargenerasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, penanaman fondasi pendidikan kebencanaan sejak dini menjadi bekal menuju kehidupan masyarakat sadar bencana dari masa ke masa.
Sementara itu, Kepala PSB UGM, Dr. Sunarto, saat membacakan pidato kunci Rektor UGM mengatakan banyak anggota masyarakat yang beranggapan bahwa PSBA (Pusat Studi Bencana Alam) UGM didirikan setelah bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda wilayah Aceh pada 26 Desember 2004 silam. Pendapat tersebut perlu diluruskan karena berdirinya PSBA UGM dipicu oleh bencana letusan Gunung Merapi pada 22 November 1994.
“Untuk mengkaji secara ilmiah mengenai letusan Merapi tersebut, Fakultas Geografi membentuk Tim Merapi yang bersifat multidisiplin,” ungkapnya.
Dijelaskan pula, sesungguhnya ide pengkajian ilmiah tentang bencana alam telah muncul lebih lama dari itu. Ide tersebut dikemukakan oleh Prof. Drs. Surastopo Hadisumarno, Guru Besar Fakultas Geografi UGM, pada tahun 1983. Menurutnya, wilayah Indonesia setiap tahunnya pasti mengalami bencana alam, baik di musim penghujan maupun kemarau. “Ide tersebut mula pertama diwujudkan dalam bentuk mata kuliah Geomorfologi Bencana Alam,” tutur Sunarto.
Selanjutnya disampaikan, Rektor menyambut baik penyelenggaraan seminar dalam rangka memperingati 14 tahun PSB UGM. Jika pada waktu-waktu lalu pendidikan kebencanaan tidak memiliki orientasi jelas, dengan seminar ini diharapkan akan mengarahkan kembali atau reorientasi untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa mengenal batas usia, kaya atau miskin, pejabat ataupun rakyat.
“Pendidikan kebencanaan perlu diberikan secara terus-menerus, mengingat bencana selalu terjadi di mana saja di seluruh wilayah Indonesia pada waktu yang dapat diprediksi maupun tidak dapat diprediksi kedatangannya,” tuturnya. (Humas UGM)