Enam dalang meramaikan pementasan wayang kulit lakon Rajamala Ruwat peringatan Dies Natalis ke-76 UGM. Pentas wayang kulit yang digelar di Joglo Gelanggang Inovasi dan Kreativitas, Minggu malam (14/12) merupakan pertunjukan Wayang Kulit Purwa madya ratri (setengah malam) yang ditampilkan oleh Sivitas UGM dan Kagama lintas angkatan. Adapun keenam dalang yang tampil adalah Ki M. Rafi Nur Fauzi (Mahasiswa FIB), Ki Gymna Cahyo Nugroho (Mahasiswa Sekolah Vokasi), Ki Faizal Noor Singgih (KAGAMA FTP), Ki Gilang Thomas Kumoro (KAGAMA Fakultas Geografi), Ki Jack Haryanto (Tenaga Kependidikan Sekretariat Universitas UGM), dan Ki Prof. Drg. Suryono, Dekan Fakultas Kedokteran Gigi sekaligus ketua penitia Dies Natalis ke-76 UGM. Pementasan wayang kulit diawali dengan prosesi Umbul Donga Kebangsaan, dan pementasan perdana Bedhaya Sesanti Gadjah Mada dengan diiringi Karawitan Keluarga Kesenian Mahasiswa.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni, Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si mengatakan pagelaran wayang kulit yang diselenggarakan UGM merupakan tradisi yang memang selalu digelar dalam rangka Dies Natalis Universitas Gadjah Mada. Untuk kali ini UGM menggelar dengan lakon Rajamala Ruwat, sebuah lakon yang dikaitkan dengan upaya untuk bisa membangun tradisi di dalam meletakkan kebudayaan sebagai salah satu piranti sekaligus pengetahuan di dalam membawa peradaban sekaligus kemaslahatan maka cerita seperti ini membuat semua ingat betapa ada sejarah kehidupan yang bisa menjadi cermin.
“Kali ini terima kasih dan saya bangga karena ada Rafi Nur Fauzi, seorang mahasiswa menjadi dalang yang berasal dari Fakultas Ilmu Budaya, kemudian Ki Gymna Cahyo Nugroho mahasiswa sekolah vokasi, kemudian Ki Gilang Thomas Kumoro Kagama Fakultas Geografi, kemudian Ki Faizal Noor Singgih KAGAMA FTP. Dua mahasiswa dan dua alumni kita tentu saya mengucapkan terima kasih setelah berpartisipasi, dan yang menarik ini nanti ada juga dalang limbukan yang mewarnai apa pengelaran wayang kulit yaitu Ki Jack haryanto dan Ki Prof Suryono,” ucapnya.
Menurutnya, pagelaran wayang kulit menjadi bagian dari upaya untuk meneguhkan jati diri UGM sebagai univeritas kerakyatan, universitas kebudayaan yang selalu setia untuk menguri-uri atau memelihara dan merawat nilai-nilai kelestarian sejarah maupun kedalaman pengetahuan peradaban. “Pagelaran seni seperti ini sudah lama bisa disimak dan saksikan, dan sejak ribuan tahun sebelum masehi menjadi sebuah pertunjukan yang menyimpan berbagai pesan moral di dalam kehidupan praksis. Misalnya pada masa Wali Sawo, Sunan Kali Jogo, bahkan mereka menjalankan dakwah apapun melalui pertunjukan Ringgit Purwo ini,” katanya.
Sinopsis Lakon Rajamala Ruwat The Dusk of Malady bercerita tentang penyamaran Pandawa di Negara Wiratha yang tidak sekadar pengasingan belaka, namun mereka memiliki misi mulia yaitu untuk “mengobati” penyakit kronis yang diderita oleh Negeri Wiratha. Penyakit tersebut tentu bukan virus maupun bakteri, tetapi berupa penyakit sosial berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme oleh lingkaran elit oligarki Wiratha yang melibatkan Kencaka, Rupakencaka, dan Rajamala.
Ki Jack Haryanto menjelaskan gambaran sinopsis pentas wayang Rajamala Ruwat tersebut lebih kepada lakon yang menyoroti dan mengkritik kondisi sosial politik negara saat ini. Gambaran para pejabat negara yang dipilih berdasarkan faktor politis sehingga cenderung nepotistik dengan kualitas yang inkompeten, dan lakon ini sebagai kritik sosial terhadap elit yang menutup mata terhadap kondisi masyarakat bawah. “Langkah para Pandawa yang menyamar sebagai masyarakat kecil merupakan representasi gerakan masyarakat dari bawah untuk mendorong perubahan fundamental pada kondisi negara. Gerakan untuk “meruwat” kondisi bangsa yang penuh problematika,” ujarnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Donnie
