Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan lokakarya Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) Regional Workshop Sustainable and Inclusive Cultural Tourism, 19-22 Agustus lalu di Kampus UGM. Kegiatan yang diikuti 60 peserta dari negara-negara anggota ASEAN dan Timor Leste ini merupakan hasil kerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, dan mendapat dukungan The Asia Foundation Indonesia.
Para peserta berasal dari berbagai latar belakang komunitas dan budaya dari Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, Laos, Singapore, dan Thailand, berkumpul untuk mendiskusikan topik keberlanjutan dan inklusivitas dalam budaya pariwisata.
Jason P. Rebholz, Konselor Diplomasi Publik, Misi Amerika untuk Indonesia, mengatakan Asia Tenggara memiliki potensi dlam pengembagan pariwisata budaya sehingga pariwisata budaya g kini menjadi isu penting di kawasan ini. Oleh karena itu, ia merasa sangat senang peserta dari berbagai komunitas ini membahas pariwisata budaya yang berkelanjutan dan inklusif. “Asia Tenggara adalah kawasan yang kaya akan budaya, tradisi, dan variasi kuliner yang dapat menjadi peluang kerja sama dengan Amerika Serikat dan komunitas global. Kegiatan ini memungkinkan peserta untuk saling belajar, berbagi keahlian, dan memberdayakan satu sama lain untuk masa depan pariwisata budaya,” ujar Jason P. Rebholz.
Lokakarya diadakan sebagai wadah bagi para pemuda dengan potensi kepemimpinan dari negara-negara Asia Tenggara dan Timor Leste, untuk membangun jaringan, bertukar ide dan wawasan, serta bersama-sama memikirkan jalan keluar dari beragam tantangan terkait cagar budaya, usaha pariwisata, serta ragam aspek inklusivitas dan berkelanjutan di Asia Tenggara dan Timor Leste. Selama lokakarya, para peserta berkesempatan untuk memperluas jaringan melalui interaksi dengan sesama peserta, dan memperoleh perspektif akan hubungan baik Amerika Serikat dengan negara-negara ASEAN, termasuk Timor Leste.
Para peserta lokakarya berkesempatan mengunjungi destinasi pariwisata terutama Borobudur, Kota Gede, dan Museum Sonobudoyo untuk belajar mengenai pengelolaan tempat wisata yang berkelanjutan dan inklusif. Mereka pun dipertemukan dengan para pengusaha, organisasi non-profit, pengelola desa pariwisata, dan pimpinan daerah agar dapat memahami bagaimana mempraktikkan apa yang telah dipelajari.
Di penghujung acara tidak sedikit dari peserta yang mengaku telah mendapatkan pengetahuan mendalam terkait cagar budaya dan wisata, revitalisasi ekonomi kemasyarakatan serta Asia Tenggara secara umum. Sederet keterampilan yang mereka dapatkan diharapkan mampu memperluas jaringan dan mendorong karir para peserta dalam menjawab berbagai tantangan globalisasi.
Tak ketinggalan para peserta juga mengunjungi cagar pariwisata di Yogyakarta untuk beroleh pengetahuan mengenai topik-topik seperti konservasi, ekonomi pembangunan dan keberlanjutan, di samping mempelajari beragam studi kasus yang dibahas oleh pakar budaya dan usaha yang berkelanjutan. Lokakarya regional Asia Tenggara ini memang menekankan aspek pembelajaran, perpindahan keterampilan, dan perluasan jaringan di sektor pariwisata berkelanjutan dan inklusivitas dari berbagai inisiatif dan usaha yang berasal dari penjuru ASEAN dan Amerika.
Ngoc Thien Nguyen, salah satu peserta dari Vietnam mengaku Program YSEALI memberdayakan dan mengasah kemampuan para individu berbakat dengan perangkat yang dibutuhkan agar dapat berkontribusi positif pada komunitas masing-masing. Peserta pun dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman dari para pakar maupun sesama peserta, serta berkesempatan mengaplikasikan ide dan apa yang telah dipelajari di negara masing-masing. “Saya hanya punya kesan-kesan positif tentang acara ini. Menarik, dan tak terlupakan, ini menjadi salah satu momen terbaik hidup saya,” ungkap Ngoc Thien Nguyen.
Penulis : Agung Nugroho