Sebagai kekuatan keempat dalam negara demokratis, peran pers selalu menjadi isu yang menarik. Dalam perspektif komunikasi politik yang sehat, pers menjadi aktor yang diharapkan secara ideal melahirkan â€inteligence opinion†sehingga mampu berperan dalam segala sendi kehidupan masyarakat yang berbasis informasi.
Berbagai studi menunjukkan, media mampu dengan sukses bersaing dengan berbagai elemen masyarakat. Dalam konteks Indonesia, peran pers dalam pendidikan politik tak bisa dikatakan tertinggal jika dibandingkan dengan partai politik. Dalam hal mengontrol eksekutif ataupun birokrasi, media pun selalu terdepan. Ia bersaing dengan lembaga resmi seperti halnya MPR ataupun DPR.
â€Namun demikian tak bisa dipungkiri bila konstruksi realitas oleh media di titik tertentu mengalami kontingensi dengan pertumbuhan pers sebagai entitas bisnis. Dalam konteks ini, persinggungan-persinggungan kepentingan dan berbagai alasan lainnya menjadikan pers kadang tak mampu secara optimal menjalankan fungsi melayani berbagai elemen masyarakat. Bahkan kadang terjebak pada kepentingan-kepentingan yang parsial,†ujar Syafrizal SIP, Senin (10/12) di UGM menjelang digelarnya seminar internasional bertajuk “Rethinking Press as the Fourth Estate: Reflection of the Press Practice in Southeast Asiaâ€.
Di titik seperti ini, nampaknya perlu untuk mendiskusikan kembali fenomena baru dunia pers di Indonesia. Bahkan, kata Syafrizal perlu memperbandingkan dengan dua negara tetangga terdekat, yaitu Singapura dan Malaysia.
Mengapa penting? Data freedom house 2004 tentang tingkat kebebasan pers di dunia menyebutkan Indonesia sudah sangat jauh meninggalkan dua negara tetangga tersebut.
â€Justru disinilah tampaknya kita perlu lebih kritis untuk memaknainya. Berbagai fenomena di masyarakat pada tingkat tertentu menunjukkan kecenderungan memudarnya respek masyarakat terhadap kinerja wartawan. Ini menjadi kerisauan tersendiri saat dunia menempatkan Indonesia pada ranking terhormat. Respek negara lain terhadap kebebasan pers di Indonesia hanya mungkin bisa dimaknai dengan sesungguhnya jika pers benar-benar mampu hadir dengan jati diri yang sesungguhnya sesuai dengan etika profesional yang melandasi geraknya,†lanjutnya.
Seminar internasional “Rethinking Press as the Fourth Estate: Reflection of the Press Practice in Southeast Asia†di akan digelar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada, pada tanggal 13 Desember 2007 di Gedung Pascasarjana UGM.
Seminar melibatkan tiga peneliti dan pengamat jurnalisme dari tiga negara, Ana Nadhya Abrar (UGM), Cherian George (NTU, Singapura), Adnan Hussein (USM, Malaysia), Indrajit Banerjee (AMIC, Singapura) dan Saur Hutabarat (harian Media Indonesia, Indonesia). (Humas UGM)