Sebanyak 31 peserta, terdiri 10 peserta dari Australia dan 21 Indonesia mengikuti forum pertemuan wakil-wakil organisasi pemuda dari Indonesia dan Australiam Heart and Minds Indonesian-Australian Youth Leadership, Dialog and Conference (IAYLC), 1-8 Juni di Sekolah Pascasarjana UGM.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Forum on Australia’s Islamic Relation (FAIR) Australia, Sekolah Pascasarjana UGM, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), selama delapan hari para pemimpin muda yang berasal dari berbagai daerah mendalami pengetahuan dan pengalaman tentang kepemimpinan, wawasan keragaman, dialog antar agama dan lintas budaya.
Kepada wartawan, perwakilan dari FAIR Australia, Mr. Kuranda Seyit, mengatakan bahwa tujuan kegiatan IAYLC ini dalam rangaka membangun model kepemimpinan pemuda yang sadar akan komitmen keadilan, keragaman dan perdamaian di tengah masyarakat.
“Mereka adalah para pemuda yang punya bakat, keterampilan dan potensi untuk kepemimpinan mereka,” kata Seyit kepada wartawan, Senin (1/6) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Berbagai aktivitas dirancang agar peserta dapat merencanakan program kepemimpinan dan organisasi yang sensitif terhadap isu-isu global kemanusiaan dan lingkungan. Sehingga bagi peserta dari kedua negara, konferensi ini akan memperkaya pengetahuan dan pengalaman mereka secara langsung tentang perbedaan dan persamaan dinamika pluralitas masyarakat di dua wilayah ini.
“Bagi delegasi dari kedua negara, konferensi ini diharapkan bisa membuka jalan komunikasi dan kerjasama antara delegasi untuk membangun dan mengembangkan pemahaman dan persaudaraan yang lebih erat antara dua warga negara yang bertetangga,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Rob Goodfellow dari Cultural Consulting mengungkapkan, kegiatan leadership semacam ini sangat penting untuk membangun hubungan yang lebih baik antara pemuda Indonesia dan Australia. “Program leadership ini saya kira penting sekali, saya tidak yakin pemimpin itu dilahirkan, tapi harus ditempa potensinya, terkait dengan konteks dan kesempatan mereka,” jelasnya.
Dalam pandangan Rob, generasi muda sekarang ini justru lebih baik dari generasi muda di eranya. Karena komunikasi dan pertemanan antara pemuda yang berbeda negara tidak lagi dibatasi oleh batas dua negara.
“Saya percaya dengan pemuda sekarang, karena mereka tidak memiliki cita-cita- negara, tapi cita-cita daerah lebih penting. Untuk generasi lama adalah cinta negara, tapi sekarang tidak. Dulu tidak ada facebook, email dan sms, jadi generasi sekarang memandang semua perbedaan itu hal yang biasa,” katanya.
Salah satu peserta dari Australia, Alfira O’sullivan, 27 tahun, mengaku sejak dulu sangat merindukan untuk datang dan berkunjung ke Indonesia. Menurutnya, Indonesia merupakan negeri yang tidak asing lagi baginya, karena ibunya berasal dari Provinsi Aceh, sedangan ayahnya dari Australia.
“Keikutsertaan saya dalam kegiatan ini, saya ditemukan kembali dengan teman-teman dari Indonesia untuk menjalin persahabatan yang lebih baik di masa depan,” kata perempuan kelahiran Perth, Australia, tahun 1982 ini. (Humas UGM/Gusti Grehenson)