Peneliti Banjir UGM Dr.Eng.Ir. Agus Maryono berpendapat bahwa gempa bumi dapat menginisiasi terjadinya longsor tebing dan akhirnya terjadinya banjir besar. Dirinya menghimbau masyarakat untuk waspada terhadap banjir akibat dorongan bencana gempa bumi dan longsor karena banjir ini biasanya disertai lumpur hasil longsoran tebing sungai dan kayu-kayuan yang ikut terbawa arus air.
Agus Maryono menunjukkan bukti bahwa gempa bumi dapat menginisiasi terjadinya longsor tebing dan akhirnya terjadinya banjir besar, diantaranya banjir bandang bahorok di Sumatera Utara tahun 2003, banjir bandang Aceh Selatan tahun 2005, banjir di Jember Jawa Timur 2006, banjir Sinjai Sulsel 2006 dan banjir Bengawan Solo 2007.
“Pada tahun tersebut atau beberapa bulan sebelumnya, dilaporkan sudah terjadi gempa bumi di wilayah-wilayah itu,” kata Agus Maryono dalam Peringatan ‘1000 Hari Gempa Bumi Yogyakarta’ hasil kerjasama Senat Akademik, LPPM dan Pusat Studi Bencana (PSBA) di Balai Senat UGM, Kamis (19/2).
Peneliti Ekohidraulik Sungai, Banjir dan Lingkungan ini menceritakan, pada tahun 1918 juga pernah terjadi banjir besar di daerah Jawa bagian Selatan seperti di daerah Kebumen, Kutoarjo, Purworejo sampai dengan Surakarta, hingga jalan raya Purworejo dikabarkan terendam bajir hingga ketinggian tiga meter dengan meninggalkan sisa lumpur yang sangat tebal.
“Pemeritah Hindia Belanda mencatat adanya kejadian gempa bumi beberapa bulan sebelumnya,” katanya.
Menurutnya, fenomena banjir yang didorong oleh gempa bumi ini akan semakin parah jika Daerah Aliran Sungai (DAS) tersebut rusak. DAS yang rusak akan memperbesar potensi longsoran tebing sungai dan meningkatkan limpasan langsung ke sistem sungai.
“Di daerah berbukit rapuh dan digoncang gempa gempa bumi sebelumnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya banjir,” kata Direktur Magister Sistem Teknik (MST) UGM ini.
Diakui Agus Maryono, kondisi ini seharusnya menjadi kewaspadaan ekstra bagi pemerintah pusat dan pemda serta seluruh masyarakat. Sebab dalam lima tahun terakhir hampir di seluruh kawasan Indonesia mengalami berkali-kali gempa bumi yang hampir merata ditambah lagi kondisi DAS yang sebagian besar telah rusak.
“Kemungkinan besar kita masih akan segera mengalami banjir-banjir berikutnya di berbagai daerah di Indonesia,” katanya.
Daerah-daerah yang harus ekstra waspada terhadap banjir dengan fenomena yang disebutkan Agus Maryono diantaranya daerah Sumatera yang berada di sepanjang Bukit Barisan di sebelah barat dan timur, daerah tekuk lereng pegunungan Aceh Tengah dan Selatan. Di pulau Jawa dapat terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur karena secara keseluruhan sudah digoncang gempa dan banyak daerah perbukitan yang mudah longsor.
Selain itu, juga potensi terjadi di daerah-daerah lain seperti Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua terutama di daerah tekuk lereng pegunungan. Sedangkan wilayah Kalimantan hanya terjadi di daerah kontur pegunungan seperti kaltim dan dan beberapa daerah lainnya.
Untuk itu, proses mitigasi banjir ini dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi secara mendetail kondisi tebing dan alur sungai di daerah-daerah yang telah dilanda gempa. Jika ditemukan tanda-tanda longsoran dan kondisi tebing sungai yang labil maka harus segera memberi status siaga bagi masyarakat yang tinggal di daerah-daerah pinggir sungai tersebut. Di samping itu, menurut dosen teknik Sipil UGM ini, upaya-upaya perbaikan-perbaikan DAS, reboisasi dan membongkar longsoran-longsoran tebing yang menutup sungai pada musim kemarau perlu dilakukan.
Sementara itu, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) DIY, Subandrio, menjelaskan masih adanya kerawanan bahaya banjir lahar dengan masih tingginya curah hujan khususnya di puncak gunung Merapi. Selain itu juga masih berpotensi munculnya longsoran-longsoran kecil di daerah Blabak-Selo pada jalan masuk lereng Gunung Merbabu yang juga perlu diwaspadai.
“Memang bukan semata-mata aktivitas vulkanik saja yang perlu kita khawatirkan, tapi banjir lahar perlu juga diwaspadai,” paparnya.
Subandrio menegaskan bahwa pihaknya tengah melakukan koordinasi dan menjalin kerjasama dengan masyarakat maupun pemda setempat untuk antisipasi kemungkinan adanya banjir lahar. Meski begitu, dirinya mengaku masih menyesalkan adanya kegiatan para penambang pasir yang masih melakukan kegiatan di areal yang berisiko terkena banjir lahar meski sudah diperingatkan.
”Mereka ini kebanyakan bukan penduduk lokal sehingga sering melanggar peringatan,” tutur Subandrio. (Humas UGM/Gusti Grehenson)